Suasana di pagi ini seperti mengingatkanku kembali di 3 tahun yang
lalu. Saat aku masih sulit untuk bersosialisasi dengan orang lain, masih
tak mengerti apa itu cinta. Dia adalah seorang kakak kelasku saat aku
masih duduk di Sekolah Menengah Pertama, SMP.
Memiliki kulit putih, hidung mancung, rambut yang dengan seringnya ia
kebaskan yang seringkali berhasil mencuri perhatianku, bibir yang
berwarna pink, memiliki hobby bermain futsal. Aku suka, ia. Diam-diam
aku menyukainya, diam-diam aku mencintainya. Dia begitu berhasil
membuatku jatuh cinta padanya. Aura pesonanya mampu membuat kaum hawa
terpikat padanya.
Selama 1 tahun lamanya aku bersekolah di sana, aku tak pernah
mengetahui namanya, tak pernah mengatahui latar belakang kepribadiannya.
Sulit bagiku untuk mengetahui semua yang ada pada dirinya.
Aku dengan diriku yang sedikit pendiam dan dia dengan dirinya yang
sangat dikenal di sekolah dengan ketampanan wajahnya. Teman-temanku,
kakak kelasku, banyak sekali yang menyukai dirinya. Ku pendam perasaan
itu sampai suatu ketika aku dapat mengetahui namanya Andi.
Ternyata nama itulah yang sering aku dengar ketika sedang lewat depan
kelasnya. Dan ternyata itu adalah namanya. Senang, iya hatiku merasa
senang saat bisa mengetahui namanya. Nama yang begitu indah seperti
wajahnya yang sangat tampan itu dan berhasil membuatku jatuh cinta
padanya.
Tapi kesenangan itu tak bertahan lama saat aku mengetahui bahwa
dirinya sudah memiliki pasangan. Cantik, berketurunan Arab, eksis di
sekolah dan seringkali ditakuti oleh adik kelas. Naila, itulah nama
kakak kelasku yang dengan bangganya ia telah mendapatkan Andi sepenuh
hatinya.
Sakit, iri, dengki. Ya tuhan mengapa aku menjadi seperti ini? Seperti orang yang tak memiliki agama, nauzubillahminzalik.
Aku mencoba untuk menghilangkan perasaanku untuknya, aku sadar bahwa
aku hanyalah seorang adik kelasnya tanpa ia ketahui perasaanku. Hari
demi hari ku lewati di sekolah itu, sekolah yang memiliki warna gedung
hijau yang dihiasi dengan pepohonan teduh.
Kujalani kehidupanku seperti biasa lagi bersama sahabat-sahabatku
tentunya, yang mampu membangkitkan aku dari segala keterpurukan. Bersama
keluargaku juga yang rutin membimbingku. Dan dengan dia, yang mampu
membuatku sabar untuk memendam dan akhirnya perasaan itu harus ku
lepaskan. Hey! Hal bodoh apa yang aku lakukan? Aku tak punya hak
atasnya, tak penting sekali jika aku memikirkannya.
Saat ia telah lulus dan kami berbeda sekolah, aku mulai terbiasa
dengan kesendirian. Kesendirian ini bukan berarti tak ada seorang pun
yang dekat denganku, hanya saja aku lebih memilih hanya sekedar dekat
sebagai teman.
Menghabiskan waktuku bersama sahabat-sahabatku, Twelven. Berbagi
cerita, canda, tawa, bahkan tangis dan luka aku rasakan bersama
sahabat-sahabatku. Mereka sangat tak perduli dengan status ataupun latar
belakang di antara kami.
Tiga tahun lamanya aku telah bersahabat baik dengan mereka. Membuatku
lupa apa itu cinta, membuatku lupa apa itu rasa sakit dikhianati oleh
pria. Ya, mereka berhasil telah membuatku lupa akan segala tentang
cinta. Terima kasih, Twelven.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun aku lewati bersama
sahabat-sahabatku yang selalu setia menemaniku. Ketika sedang asik
bermain dengan sahabat-sahabatku tiba-tiba lelaki tampan nan baik yang
sempat aku sukai menyapa aku lewat pesan singkat, BBM. Terpaku diam, tak
menyangka bahwa hal itu akan terjadi, aku sangat kaget, ya
sangat-sangat kaget saat melihat led handphone-ku menyala dan ada pesan
darinya.
Rasanya itu seperti sedang naik jet coaster dan ketika sampai
puncaknya tak berharap untuk turun. Aku dan dia berkenalan seperti
seseorang yang belum kenal sama sekali padahal aku telah mengenalnya
terlebih dahulu. Perkenalan itu singkat tetapi membuat perasaan yang
dulu sempat aku pendam dan aku relakan kini kembali lagi.
Percakapan aku dengannya sangat panjang, apapun yang ia rasakan ia
ceritakan kepadaku, begitu juga denganku. Bertukar cerita setiap
harinya, saling menjaga dan ia membuatku nyaman akan kehadirannya.
Ternyata orang yang selama ini aku kira sombong ternyata tidak. Ia
sangat baik, perhatian-perhatian kecil yang selalu ia berikan membuatku
menjadi tambah mencintainya.
Tiga bulan lamanya aku dekat dengannya tanpa status yang entah aku
ketahui. Saling mengucapkan cinta, kasih, sayang tetapi tidak jelas, tak
ada status apapun di antara kami. Sakitku bermula saat ia memasang
status nama wanita lain di salah satu sosial media yang biasa kami
melakukan percakapan, BBM. Hati aku merasa seperti terpuruk di tengah
lautan terdalam, terhempaskan dengan ombak-ombak yang membuatku
tenggelam di dalamnya.
“Siapa nama perempuan yang ada di statusmu?”
“Teman”
“Hanya teman? Atau itu pacarmu?”
“Aku gak jadian, aku cuma deket dia juga belum bisa kalau harus pacaran jarak jauh.”
Rumahnya memang sangat jauh, terletak di luar Jakarta. Tetapi ia
bersekolah di Jakarta. Dengan semangatnya ia tetap bersekolah di jakarta
walaupun jarak dari rumah ke sekolahnya lumayan jauh.
Setelah mendengar penjelasannya, hatiku luluh. Aku memaafkannya dan
kembali seperti biasa seperti hal itu tak pernah terjadi sebelumnya. Aku
sadar aku tak ada hak untuknya. Siapa diriku dan apa hakku untuk
cemburu? Sial, aku melakukan hal bodoh lagi.
Selang beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi, ia bertanya
tentang perasaanku dan aku menjawab sesuai dengan apa yang aku rasa.
Saat aku bertanya tentang perasaannya. Ternyata perasaannya tak sama
dengan apa yang aku rasakan.
“Sejujurnya, aku lagi deket sama 5 cewek, tapi yang ngingetin aku sholat Cuma satu yaitu kamu. Di situ aku ngerasa beda”
Hey! Tak pernahkah kau berpikir sebelum menagatakn hal itu? Kata-kata
yang sedikit padat tetapi sangat jelas, iya jelas menyakitiku kembali.
Aku diam tak tahu apa yang harus ku lakukan lagi, merasakan sakit
yang melebihi sakit sebelumnya. Aku hanya dekat denganmu tetapi kau
dekat dengan banyak wanita? Dimana letak hatimu sesungguhnya? Aku
mencoba sabar, karena aku sadar aku bukan siapa-siapa dia. Aku tidak
punya hak lebih atasnya.
“Ya ampun di, aku gak nyangka. Tapi ya itu terserah kamu karena aku
bukan siapa-siapa kamu dan aku gak punya hak. Kamu berhak dekat dengan
siapa saja sesukamu.”
“Maaf, aku cuma ingin lebih selektif. Karena aku nggak mau ngerasain apa yang aku rasain sebelumnya. Ngerti kan?”
Aku mencoba mengerti. Iya aku mengerti bahwa yang harus aku lakukan
hanyalah bersabar. Cintaku seperti kepakan burung merpati yang berusaha
terbang tetapi tak pernah berhasil karena hanya satu sayap yang hidup,
bertepuk sebelah tangan.
Teriknya sinar mentari di siang hari, sangat menyengat kepalaku saat
aku berjalan di salah satu terminal di Jakarta tidak mematahkan niatku
yang ingin bermain di rumah salah satu temanku. Dari pagi hingga saat
itu aku habiskan waktuku lewat pesan singkat dengannya, Andi.
Sesampainya di rumah temanku, Tiva. Aku merasa aneh karena ada hal yang
tak biasa Andi lakukan, ia meniggalkan pesan singkatku, ia mengabaikan
pesan singkatku.
Tiba-tiba saat melihat recent updates, dia mengganti display picture-nya dengan foto seorang gadis berhijab yang cantik.
“Dp nya Andi? Itu kan Cika teman SMP-ku. Mereka balikan?” Tiva menyerocos saat melihat hanphone genggamku yang tiba-tiba jatuh.
Aku diam tak berkata apapun dan langsung meneteskan air mataku. Butir
demi butih yang kujatuhkan di pipiku semakin deras. Hatiku merasa
tersakiti, sakit yang sangat dalam yang belum pernah aku rasakan
sebelumnya.
Tak sanggup lagi bagiku untuk menahan sakitnya setelah beberapa kali
ia sakiti. Aku kecewa, aku telah mempercayainya tetapi kepercayaan itu
dibalas dengan dusta. Dengan kuatku aku bertanya.
“Ini Andi atau Cika?”
“Enggak put, ini aku andi. Maaf ya put selama ini aku bohongin diriku
sendiri termasuk kamu, aku sadar aku ngaku aku belum bisa lepas dari
bayang-bayang cika put, tapi aku nggak balikan sama dia.”
Kata-kata itu, ucapan itu telah berhasil menggoreskan luka di hatiku.
Sakitnya seperti tancapan benda tajam yang tak bisa terlepas. Aku
berpikir dan terus berpikir sampai saatnya aku bertanya pada diriku.
Siapa aku? Apa yang aku rasakan? Mengapa aku seperti ini, menangisi
seorang pria yang tak pernah menghargai perasaanku? Aku merasa seperti
boneka yang ia permainkan.
Apa lelaki memang seperti itu? Pada awalnya membuatku terbang
sehingga menggapai bintang, namun akhirnya saat aku ingin menggapainya,
ia kembali menghempaskanku ke dasar samudera terdalam. Harapanku pupus,
ia sudah tak bisa aku dapatkan. Tak ada lagi hubungan komunikasi antara
aku dengannya. Seperti seorang yang tak lagi kenal.
Tepat seminggu setelah kepergiannya, ia kembali menghubingiku. Ia
membuatku bingung. Apa yang harus kulakukan lagi? Melayani pesan
singkatmu dengan begitu romantisnya tetapi kau abaikan begitu saja?
Kesakitan apa lagi yang akan kau berikan untukku? Tanyaku dalam diam.
Tetapi hati ini selalu saja luluh ketika beberapa kata-kata manis ia
keluarkan kembali.
Sampai akhirnya aku bertemu dengannya aku merasakan mozaik yang
berbeda. Hatiku berdebar dengan kencang saat bertemu dengannya. Walau
hanya sekedar menemaninya futsal tetapi aku senang karena bisa
bersamanya.
“Di, bersamamu lebih lama adalah hal yang telah lama ku nanti selain senja,”
Aku semakin gila dibuatnya, perasaanku menjadi bertambah untuknya.
Tak ada lagi pria lain selain dia di hatiku. Hatiku sudah penuh dengan
dirinya. Hampir 90% hatiku penuh dengan hal apapun tentang dirinya. Saat
sedang menemaninya futsal, tenyata dia sparing dengan kakak kelasku di
sekolah, aku merasa kaget karena banyak sekali kakak kelasku yang
perempuan di sana.
Bagaimana tidak panik saat sekolahmu bertanding dengan sekolah
seseorang yang dekat denganmu? Bingung harus mensupport siapa. Tetapi
kedekatanku dengannya tak bertahan lama, hanya hampir tiga bulan aku
dekat dengannya. Tiba-tiba ia menghilang tanpa sepatah kata apapun yang
ia ucapkan kepadaku.
Hatiku kembali merasakan sakit hati untuk yang kesekian kalinya.
Tanpa ada kata maaf, ia menginggalkanku begitu saja. Dan ternyata ia
telah memilki wanita baru. Dan wanita itu ialah seseorang yang sering
kulihat dia sedang berjalan berdua saat pulang sekolah. Setiap kali
kutanyakan tentang wanita itu, dia hanya berkata.
“Dia hanya temanku, gak lebih. Semuanya sama put”.
Dan ternyata, kini ialah pemilik hatinya. Ia berbohong (lagi),
mungkin aku hanya seseorang yang tak berarti di matanya. Namun lihatlah
hati ini, seperapa basahnya luka yang ada di sini yang tak kunjung
kering. Sakitku tak bisa lagi terungkapkan seperti apa.
Luka itu sudah terlalu dalam, terlalu perih dan sangat sakit untuk
diobati. Perasaanku begitu absurd, hari-hariku menjadi gelap tak ada
lagi cahaya yang menerangi hariku, tak ada lagi warna di kehidupanku.
Hari yang berbeda dan tak lagi sama. Perasaan ini seperti mencengkam di
benakku. Hidupku hampa saat kepergiannya.
Aku mencoba menjalani hari-hariku seperti biasa lagi dan lagi. Tanpa
adanya pesan singkat darinya, perhatian-perhatian kecilnya dan apapun
tentangnya. Aku mencoba membiasakan diri tanpanya. Sunyi, sepi, sendiri
itulah yang selalu aku rasakan.
Di malam yang sangat dingin, aku bersama sahabat-sahabatku sedang
menuangkan rasa kesedihan kami. Kami melakaukan hal yang tak sewajarnya
kami lakukan. Mencoba meminum-minuman keras, merok*k dan kami tergeletak
dengan semua kekesalan itu. Tak punya cukup daya untuk sadar dari
semuanya.
Dan tiba-tiba handphone-ku berbunyi dan ada 1 pesan singkat, ternyata
dari “Andi” orang itu selalu saja menghampiriku saat aku telah mencoba
melupakannya. Ia kembali menghubungiku, bertanya-tanya tentang
kondisiku.
Keesokan harinya, saat aku sedang menjalani masa-masa Prakerin, ia
mengajakku untuk menemaninya futsal sore nanti. Aku bingung, jam kerjaku
baru akan selsai sore, bagaimana sempat aku untuk datang ke
pertandingan futsalnya. Dengan segala daya yang masih tersimpan di
hatiku, aku memberanikan diri dan mnyempatkan diri untuk datang ke sana.
Sepulang Prakerin aku menghampiri tempat ia bertanding dan ternyata
pertandingan itu telah usai. Kulihat dia sedang berjalan ke luar dari
lapangan membawa sebuah tas. Aku menghampirinya.
“Eh, kirain nggak jadi datang” Ucap Andi dengan penuh kelelahan di wajahnya, dengan keringat yang bercucuran di wajahnya.
“Jadilah, apa sih yang nggak buat kamu ndi” Jawabku.
“Ya udah yuk ke sana aja” Andi menunjuk sebuah kantin yang di sampingnya terdapa meja billiard.
Aku duduk di sebuah bangku panjang bersebelahan dengan dirinya. Aku
agak menjaga jarak, karena aku tak kuat dengan asap rok*k yang sesekali
ia hembuskan di depan hadapanku.
“Kenapa kamu tidak mengajak pacarmu saja?” Aku mencoba memulai pembicaraan
“Aku sudah putus”
“Loh kenapa? Berapa bulan sama dia?”
“Hmm nggak tahu, aku hanya HTS-an sama dia”
Aku berpikir dan terus berpikir. Sempat aku melihat contact profil
dia di bbm saat ia masih pacaran dengan mantan yang baru saja putus ini,
dia statusnya yang sudah sangat fix bahwa ia akan terus bersama wanita
itu. Tapi nyatanya ia hanya menganggap hubungannya HTS. Apa itulah dia?
Tak pernah menganggap status pacaran itu ada? Aku masih memikirkan
perkataan ia tadi.
“Kenapa bengong gitu? Kamu mau minum nggak? Tanya Andi yang sedari tadi ternyata memperhatikanku.
“Hah? Nggak usah, aku bisa beli sendiri kok” Jawabku sambil tersenyum palsu.
Hari sudah terlalu sore, dan kami memutuskan untuk pulang. Selama di
perjalanan ia tak berhenti menceritakan hari-harinya selama tanpaku. Aku
menanggapinya seolah aku mengerti, padahal aku hanya memperhatikan
keseruan mimik mukanya saat bercerita.
Hari demi hari aku lewati bersamanya, walau hanya sebatas lewat pesan
singkat tapi itu sudah memasok energiku. Semangatku kembali lagi
setelah kehadirannya. Seperti ada mesin waktu yang memutar. Percakapanku
dengannya dan apapun tentang kebersamaanku dengannya kini kembali lagi.
Dan lagi-lagi ia menanyakan tentang perasaanku.
“Aku peka, tapi lebih baik gini kayaknya. Bisa dekat tapi nggak terikat. Kamu terlalu baik buat aku” Balas Andi.
“Hmm, tapi kan. Iya iya aku ngerti kok hehe”
“Tapi apa?”
“Tapi semua itu karena aku udah terlalu nyaman sama kamu. Entah kenapa
aku sayang sama kamu. Aku tahu, kamu sempat memilih pergi dan memiliki
wanita lain. Tapi selama rentan waktu itu aku masih stuck di kamu, aku
nggak punya cukup daya untuk ngelupain kamu. Tapi sekarang aku ngerti
kalau kamu lebih mau kita hanya dekat tanpa ikatan. Mungkin dengan kayak
gitu, nggak akan ada yang tersakiti.”
“Bukan salah satu harus sakit put, intinya ya kita nggak terikat jadi
sama-sama bebas main. Udah gitu kalau gini kan nggak ada putusnya.”
Aku mencoba mengerti apapun yang ia katakan. Dia selalu bercerita
tentang masa lalunya. Ia ingin sekali dapat kembali dengan mantannya,
Cika. Dia menyesali perbuatannya yang telah menyakiti hati Cika, selama
rentan waktu berpisah darinya ia selalu merasa ada sesuatu yang hilang.
Banyak sekali yang ia ceritakan kepadaku. Aku yang dia anggap sebagai
teman dekatnya ikut mensupport agar ia bisa balik dengan mantan
kekasihnya. Padahal saat bicara seperti itu hatiku penuh dengan
kehancuran, hati ini harus berperang dulu sebelum mengatakan itu semua.
Disakiti berkali-kali dan berulang-ulang kali tema dari semua itu.
Beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi, dia kembali menghilang.
Pergi entah kemana, tak ada kabar dan tak ada sedikitpun ucapan selamat
tinggal. Aku seperti kehilangan arah, hatiku gundah. Dan tiba-tiba aku
mendengar kabar tentangnya. Ternyata kabar itu tak sebaik yang aku kira,
ternyata ia telah berhasil membuat Cika kembali padanya. Ia balikan
dengan mantannya. Kata-kata kebahagiaan yang selalu ia tuangkan di media
sosialnya tanpa ia pikirkan bagaimana perasaanku saat melihat kata-kata
itu.
“Tuhan, aku tidak kuat dengan ini semua. Kata-kata itu terlalu magis
dalam benakku. Sosoknya terlalu berarti di mataku. Namanya telah terukir
jelas di hatiku tetapi ia menghancurkannya. Bantu aku tuhan untuk
menghilangkan perasaan ini” Batinku berbicara dan langsung meneteskan
air mata ini tetes demi tetes terurai melewati pipi.
Di tengah-tengah buku yang bertumpukan dan kertas yang berantakan aku
menulis ini. Dengan tetesan air mata dan kenangan yang membantuku dalam
penulisan ini. Kini, aku akan berusaha untuk melupakannya, membiasakan
diri tanpanya. Sudah cukup 6 bulan kedekatanku dengannya tanpa setitik
kejelasan apapun, tanpa status apapun tetapi terus disakiti dan aku
masih bersabar. Aku merasa bodoh, selalu memperjuangkanmu yang
jelas-jelas tak ingin diperjuangkan olehku. Mungkin bersama dia -kekasih
barumu- kau akan bisa lebih bahagia. Dan tak ada lagi seseorang yang
selalu membuatmu merasa kesal karena sikapnya.
Untuk seseorang yang sempat dekat denganku, Andi.
Terima kasih untuk selama ini, terima kasih telah mengajariku kesabaran yang sesungguhnya, cinta yang sebenarnya.
Maaf jika aku hanya menjadi pengganggu di kehidupanmu. Aku hanya seorang wanita yang ingin merasakan jatuh cinta dan di cintai.
Selamat tinggal, cinta pertama.
Home »Unlabelled » Terimakasih Cinta Pertama Konten Lain di Sini
mantap, broo update terus.!
BalasHapusCara Tradisional Mengobati Neuropati