TUHAN SUDAH MERENCANAKAN SEGALANYA UNTUK KITA
Karya Kazenithavi
“Ngapain lo kesini?” tanya Winda dengan ketus. Membuat Bila makin
menciut di tempatnya. “Gue tanya ke elo! Ngapain lagi lo kesini?” ulang
Winda sebal, karena pertanyaannya itu tidak segera dijawab. “Lo masih
kurang puas nyakitin gue setelah lo ngekhianatin gue? Masih kurang puas
lo!?” nada suara Winda mulai naik satu oktaf. Menahan segala rasa sakit
di hatinya.
“Gu.. Gue.. cuman mau minta maaf ke elo..” jawab Bila takut-takut. Bila tahu bahwa ia memang salah, benar-benar salah. Bila mengkhianati persahabatan mereka, hanya karena satu orang, Tian. Ia tahu betul bahwa sebenarnya Winda sangat menyukai Tian. Walaupun Winda tidak pernah membicarakan soal ini kepada orang lain selain Bila, terutama Tian. Bila yang telah dipercaya oleh Winda untuk menjaga rahasia ini --- entah setan apa yang telah merasuki dirinya --- ia malah ikut menyukai Tian. Sisi egoisnya memenangkan rasa ingin memiliki Tian. Dan sekarang, Bila dan Tian adalah sepasang kekasih. Ini adalah kesalahan besar. Kini, persahabatan mereka hancur.
“Gu.. Gue.. cuman mau minta maaf ke elo..” jawab Bila takut-takut. Bila tahu bahwa ia memang salah, benar-benar salah. Bila mengkhianati persahabatan mereka, hanya karena satu orang, Tian. Ia tahu betul bahwa sebenarnya Winda sangat menyukai Tian. Walaupun Winda tidak pernah membicarakan soal ini kepada orang lain selain Bila, terutama Tian. Bila yang telah dipercaya oleh Winda untuk menjaga rahasia ini --- entah setan apa yang telah merasuki dirinya --- ia malah ikut menyukai Tian. Sisi egoisnya memenangkan rasa ingin memiliki Tian. Dan sekarang, Bila dan Tian adalah sepasang kekasih. Ini adalah kesalahan besar. Kini, persahabatan mereka hancur.
Tuhan Sudah Merencanakan Segalanya Untuk Kita |
Winda sangat membenci mantan sahabatnya itu. Sahabat yang selama ini ia
percaya, yang selalu menemaninya setiap hari, ternyata mengkhianatinya.
Sikap angkuhnya saat ini semata-mata untuk menutupi rasa sedihnya. Winda
sangat ingin menangis saat melihat wajah mantan sahabatnya itu. Hatinya
terlalu sakit untuk terobati.
“Winda, please.. maafin gue..” Bila memohon dengan tulus, suaranya bergetar, ia menitikkan air mata dari matanya yang sayu indah itu. Bagaimana pun pikirannya menolak, hatinya tak bisa berbohong untuk mengatakan bahwa sesungguhnya Winda sangat merindukan Bila. Walaupun hatinya masih merasa sakit yang teramat sangat. “Kejadian itu kan udah tiga bulan lalu, Winda.. please, maafin gue..” air mata Bila tidak berhenti menetes.
“Heh! Lo kira kalo kejadian itu udah lama, gue bakalan lupain kejadian itu begitu aja!?” sentak Winda. Suaranya ikut bergetar, menahan tangis sekuat tenaga.
“Please, maafin gue..”
…
Winda tidak tahu, bahwa sebenarnya ada seseorang yang diam-diam mengamatinya dari jauh. Hanya bisa mengamati dan menjaga Winda dari jauh, tanpa bisa menampakkan identitasnya. “Orang itu” hanya berpura-pura tidak peduli. Tetapi sebenarnya, “Orang itu” begitu peduli pada Winda. Hatinya sakit melihat Winda yang berubah menjadi murung sejak tiga bulan yang lalu. Separuh hatinya, seakan bisa merasakan apa yang Winda rasakan.
…
“Hei.. kamu kenapa kok murung gitu?” Tian bertanya pada Bila yang sedari tadi seperti menerawang. “Kamu kenapa sih?” tanyanya lagi pada Bila yang masih saja diam menerawang.
“Tian, kita.. putus..” kata Bila lirih, tidak mengindahkan pertanyaan Tian. Air mata Bila jatuh, ia harus memilih. Persahabatan atau cinta. Dan sekarang, ia memilih persahabatan.
…
“Wind, ada yang cari kamu tuh..” kata Novi, salah satu teman sekelas Winda.
“Siapa, Nov?” tanyanya kembali. Siapa yang mencarinya dari kelas lain?
“Nggak tahu, tuh..” jawab Novi sambil mengutak-atik hapenya di bangku kebesaran milik-nya.
Dengan malas, Winda keluar dari kelas. Tetapi, ia tidak menemukan seorangpun di sana, aneh. Tiba-tiba ekor matanya menangkap sesuatu berbentuk kotak hadiah di dekat kakinya. Winda mengambilnya hati-hati, siapa tahu isinya adalah bom. Di penutup kotaknya, terdapat post-it yang tertempel dengan tulisan..
Tiga bulan terakhir, gue lihat lo kok sedih aja sih? Murung terus!
Jelek, tahu! Nggak enak lihatnya. Kata orang kan, kalo cewek badmood dikasih cokelat jadi nggak badmood lagi..
Nah, ini gue kasih cokelat. Jangan ditekuk mulu mukanya, neng..
Winda mengernyit, tak mengerti apa maksud dari si pengirim ini. Siapa yang mengirimnya. Dasar pengecut gumam Winda dalam hati. Benar saja Winda bilang bahwa sang pengirim adalah orang yang pengecut, karena memang orang itu tidak berani menampakkan dirinya. Winda masuk ke kelas dengan membawa kotak yang berisi lima batang cokelat dengan dahi yang masih mengernyit.
…
“Orang itu” tersenyum simpul di balik pohon. Sedari tadi ia mengamati Winda yang sedang heran menemukan kotak itu, hingga ia kembali ke kelasnya, kelas 3 IPA-2.
…
“Uhuk, ada yang baru dapet hadiah nih.. eciyee..” kata Rega, cowok kece yang lagi duduk di bangku paling belakang bersama murid cowok yang lainnya. Itu tempat favorit mereka sih.
“Apaan sih lo? Ikut campur aja..” jawab Winda sebal, merasa urusannya dicampuri orang lain. Ia sendiri saja masih bingung siapa pengirimnya.
“Udahlah, bro.. cewek cuek gitu mah mana enak dikerjain. Enak juga ngerjain cewek yang endelnya nggak ketulungan..” Lando menimpali. Cowok ini memang kece, hampir semua murid cewek di kelas kagum sama dia. Kurang apa lagi? Kece? Cerdas? Semua ada di diri Lando.
Winda hanya mendengus mendengar Lando seperti membelanya. Mau sok jadi pahlawan kesiangan? tanya Winda dalam hati. Lando memang sering melakukan hal itu saat Winda akan jadi sasaran empuk untuk dikerjain. Rega hanya mengangguk-angguk setuju, lalu mulai menggoda mangsanya yang endelnya nggak ketulungan. Winda hanya menahan tawanya yang hampir saja menyembur karena reaksi cewek itu.
Tiba-tiba tangan seseorang hinggap di bahunya yang mendadak terasa mungil karena ukuran tangan itu. Refleks, Winda mengehempaskan tangan itu ke samping secara kasar. Benar-benar kasar hingga pemilik tangan, beraduh-aduh ria.
“Adududuhh.. aduuh.. ni cewek tenaganya kuat banget sih??” kata cowok itu. Ups, yang memegang bahu Winda itu cowok lhoo. Pantesan tangannya gede banget.
“Eh, sorry.. lagian elo juga sih.. emang lo ngapain sih, pake pegang-pegang bahu gue?” Winda balas bertanya dengan nada sedikit sebal. Ih! Apaan pegang-pegang.
“Ya maaf, deh. Akhir-akhir ini lo murung sih.. kenapa sih?” tanya Lando ingin tahu. “Oh iya, tenaga lo kuat juga, ya.. tangan gue sampe sakit begini..” tambah Lando.
“Mau tahu urusan orang aja sih? Eh, itu sih salah lo sendiri ya, tangan lo sampe gitu ya bukan salah gue. Gue kan cuma refleks aja.” jawab Winda, asli cuek bebek. Winda tidak tahu bahwa sebenarnya ada maksud lain di balik kata-kata Lando. Ya, Lando memang perhatian terhadap Winda. Ia sudah tertarik pada Winda sejak ia pertama kali mengenalnya di kelas sepuluh. Tapi jelas, Winda tidak tahu itu.
“Ada apaan sih?” tanya Winda. Lando tersenyum penuh arti, lalu berkata, “Jalan ke mall, yuk. Ntar kita nonton bareng. Gimana? Atau ke Dufan aja? Gue yang traktir deh..”
Winda tampak menimbang-nimbang ajakan Lando.
“Jadi gimana? Mau nggak?” tanya Lando sekali lagi. Baiklah, Winda akan coba untuk membuka hatinya sekali lagi. Berharap ia akan kembali ceria seperti yang dulu. Dengan penuh keyakinan, akhirnya Winda mengangguk.
“Oke, gue mau. Tapi kita pergi ke Dufan aja ya? Beneran elo yang traktir, kan?” kata Winda pada Lando.
Lando mengangguk, “Oke, kalo gitu hari Sabtu sepulang sekolah kita berangkat. Lo jangan lupa bawa baju ganti. Oke?”
“Oke.” kata Winda senang.
...
Sudah jam 12 malam dan Winda tidak bisa tidur karena hatinya terus berdebar membayangkan hari esok. Jujur, Winda sangat tidak nyaman dengan perasaan ini. Semalam ia juga mendapat kiriman dari seseorang yang misterius lagi. Ia mendapat sebuah kotak yang berisi sepasang sneakers nike bernuansa perempuan.
Di kotak itu juga tertempel post-it bertuliskan,
Ini buat kamu, dipake ya..
...
Alhasil, keesokan harinya ia memakai sneakers cantik itu. Ia juga membawa baju ganti untuk pergi ke Dufan dengan Lando. Saat istirahat pertama, Lando menghampirinya. “Lo nggak lupa bawa baju ganti, kan?” tanya Lando memastikan. Winda yang sedang menulis rangkuman hasil pembelajaran Biologi barusan menoleh, “Nggak lupa, kok.”
“Lo pasti nggak bawa helm, kan? Tenang aja, gue udah bawa kok. Kemarin gue beli buat lo.” kata Lando. “Lo nggak ke kantin? Rajin banget sih jadi anak? Ke kantin, yuk..” ajak Lando. Winda tidak menolak ajakan Lando, ia mengikuti Lando pergi ke kantin.
Winda melihat Bila dan Tian yang biasanya duduk bersama di kantin, kini berpisah. Winda segera tahu apa yang terjadi. Ia jadi merasa sedikit bersalah.
...
Lando dan Winda sudah sampai di Dufan ketika pukul satu siang. Winda mengenakan baju kesayangannya juga sneakers keren itu. Sedangkan Lando mengenakan kemeja berwarna biru yang dilipat tiga per empat pada lengan dengan celana berwarna senada.
Mereka menikmati waktu kebersamaan. Saat menaiki Bianglala, tiba-tiba Winda meneteskan air mata, membuat Lando panik. Winda teringat kembali pada sosok yang sangat ia rindukan, Bila. “Lo kenapa nangis?” tanya Lando dengan lembut saat mereka masih ada di dalam Bianglala.
Tanpa sadar, Winda telah menceritakan masalahnya dengan Bila pada Lando. Sesuatu dari Lando membuat Winda percaya padanya. Ia mendengarkan dengan seksama, lalu sesekali memberi saran untuk Winda.
“Menurut gue sih, ikhlasin aja. Cowok nggak cuma satu. Jangan sedih terus. Buka lagi hati lo buat orang lain. Buat orang yang ada di depan lo ini..” kata Lando dengan lembut. Ia memang sengaja naik Bianglala waktu matahari terbenam dan berencana menembak Winda.
Winda kaget mendengar perkataan Lando, lalu lebih terkejut lagi saat tahu Lando sudah berlutut di hadapannya. “Winda, jujur gue suka sama lo. Selama ini gue yang ngirimin sesuatu ke elo. Maaf kalo gue udah bikin lo penasaran. Gue pengen lo jadi pacar gue. Mau nggak, lo jadi pacar gue?” tembak Lando tepat sasaran.
Winda senang akan ungkapan cinta Lando itu. Ia terharu hingga tangisnya makin menjadi. Ia mengangguk, menerima Lando sebagai pacarnya. Ya, ia akan kembali menjadi Winda yang dulu. Ia akan memaafkan Bila. Ia jadi makin merasa bersalah pada Bila.
Lando merasa senang, ia puas dengan hasil kencan hari ini. Ia memeluk Winda yang menjadi sangat kecil dalam pelukannya. “Makasih buat hari ini, Lan. Gue juga suka sama elo..” kata Winda dalam pelukan Lando.
“Sama-sama, sayang..” jawab Lando. Tepat di saat itu, ponsel Winda berbunyi. “Siapa sih yang telepon? Ganggu aja deh..” kata Lando kesal.
“Bentar ya,” kata Winda lalu mengangkat telepon itu. “Ya?” kata Winda.
“Gue udah putus sama Tian. Lo mau maafin gue, kan?” tanya seseorang di seberang sana dengan isakan. “Lo nggak perlu putus sama Tian. Gue udah maafin elo. Gue udah punya cowok, Bila..” kata Winda menitikkan air mata.
“Beneran, Winda? Makasih ya, elo emang sahabat terbaik gue. Makasih. Gue janji nggak akan mengkhianati lo lagi.” kata Bila di seberang sana. Bila menangis karena senang. Dan, telepon pun diakhiri.
“Siapa?” tanya Lando.
“Bila. Aku udah maafin dia. Aku ikhlasin semuanya, karena Tuhan udah memberikan aku yang lebih baik dari dia, kamu.” kata Winda.
“Ya, Tuhan memang sudah merencanakan segalanya, untuk kita..” kata Lando sambil tersenyum lalu merangkul bahu Winda dan mengajaknya pulang.
“Winda, please.. maafin gue..” Bila memohon dengan tulus, suaranya bergetar, ia menitikkan air mata dari matanya yang sayu indah itu. Bagaimana pun pikirannya menolak, hatinya tak bisa berbohong untuk mengatakan bahwa sesungguhnya Winda sangat merindukan Bila. Walaupun hatinya masih merasa sakit yang teramat sangat. “Kejadian itu kan udah tiga bulan lalu, Winda.. please, maafin gue..” air mata Bila tidak berhenti menetes.
“Heh! Lo kira kalo kejadian itu udah lama, gue bakalan lupain kejadian itu begitu aja!?” sentak Winda. Suaranya ikut bergetar, menahan tangis sekuat tenaga.
“Please, maafin gue..”
…
Winda tidak tahu, bahwa sebenarnya ada seseorang yang diam-diam mengamatinya dari jauh. Hanya bisa mengamati dan menjaga Winda dari jauh, tanpa bisa menampakkan identitasnya. “Orang itu” hanya berpura-pura tidak peduli. Tetapi sebenarnya, “Orang itu” begitu peduli pada Winda. Hatinya sakit melihat Winda yang berubah menjadi murung sejak tiga bulan yang lalu. Separuh hatinya, seakan bisa merasakan apa yang Winda rasakan.
…
“Hei.. kamu kenapa kok murung gitu?” Tian bertanya pada Bila yang sedari tadi seperti menerawang. “Kamu kenapa sih?” tanyanya lagi pada Bila yang masih saja diam menerawang.
“Tian, kita.. putus..” kata Bila lirih, tidak mengindahkan pertanyaan Tian. Air mata Bila jatuh, ia harus memilih. Persahabatan atau cinta. Dan sekarang, ia memilih persahabatan.
…
“Wind, ada yang cari kamu tuh..” kata Novi, salah satu teman sekelas Winda.
“Siapa, Nov?” tanyanya kembali. Siapa yang mencarinya dari kelas lain?
“Nggak tahu, tuh..” jawab Novi sambil mengutak-atik hapenya di bangku kebesaran milik-nya.
Dengan malas, Winda keluar dari kelas. Tetapi, ia tidak menemukan seorangpun di sana, aneh. Tiba-tiba ekor matanya menangkap sesuatu berbentuk kotak hadiah di dekat kakinya. Winda mengambilnya hati-hati, siapa tahu isinya adalah bom. Di penutup kotaknya, terdapat post-it yang tertempel dengan tulisan..
Tiga bulan terakhir, gue lihat lo kok sedih aja sih? Murung terus!
Jelek, tahu! Nggak enak lihatnya. Kata orang kan, kalo cewek badmood dikasih cokelat jadi nggak badmood lagi..
Nah, ini gue kasih cokelat. Jangan ditekuk mulu mukanya, neng..
Winda mengernyit, tak mengerti apa maksud dari si pengirim ini. Siapa yang mengirimnya. Dasar pengecut gumam Winda dalam hati. Benar saja Winda bilang bahwa sang pengirim adalah orang yang pengecut, karena memang orang itu tidak berani menampakkan dirinya. Winda masuk ke kelas dengan membawa kotak yang berisi lima batang cokelat dengan dahi yang masih mengernyit.
…
“Orang itu” tersenyum simpul di balik pohon. Sedari tadi ia mengamati Winda yang sedang heran menemukan kotak itu, hingga ia kembali ke kelasnya, kelas 3 IPA-2.
…
“Uhuk, ada yang baru dapet hadiah nih.. eciyee..” kata Rega, cowok kece yang lagi duduk di bangku paling belakang bersama murid cowok yang lainnya. Itu tempat favorit mereka sih.
“Apaan sih lo? Ikut campur aja..” jawab Winda sebal, merasa urusannya dicampuri orang lain. Ia sendiri saja masih bingung siapa pengirimnya.
“Udahlah, bro.. cewek cuek gitu mah mana enak dikerjain. Enak juga ngerjain cewek yang endelnya nggak ketulungan..” Lando menimpali. Cowok ini memang kece, hampir semua murid cewek di kelas kagum sama dia. Kurang apa lagi? Kece? Cerdas? Semua ada di diri Lando.
Winda hanya mendengus mendengar Lando seperti membelanya. Mau sok jadi pahlawan kesiangan? tanya Winda dalam hati. Lando memang sering melakukan hal itu saat Winda akan jadi sasaran empuk untuk dikerjain. Rega hanya mengangguk-angguk setuju, lalu mulai menggoda mangsanya yang endelnya nggak ketulungan. Winda hanya menahan tawanya yang hampir saja menyembur karena reaksi cewek itu.
Tiba-tiba tangan seseorang hinggap di bahunya yang mendadak terasa mungil karena ukuran tangan itu. Refleks, Winda mengehempaskan tangan itu ke samping secara kasar. Benar-benar kasar hingga pemilik tangan, beraduh-aduh ria.
“Adududuhh.. aduuh.. ni cewek tenaganya kuat banget sih??” kata cowok itu. Ups, yang memegang bahu Winda itu cowok lhoo. Pantesan tangannya gede banget.
“Eh, sorry.. lagian elo juga sih.. emang lo ngapain sih, pake pegang-pegang bahu gue?” Winda balas bertanya dengan nada sedikit sebal. Ih! Apaan pegang-pegang.
“Ya maaf, deh. Akhir-akhir ini lo murung sih.. kenapa sih?” tanya Lando ingin tahu. “Oh iya, tenaga lo kuat juga, ya.. tangan gue sampe sakit begini..” tambah Lando.
“Mau tahu urusan orang aja sih? Eh, itu sih salah lo sendiri ya, tangan lo sampe gitu ya bukan salah gue. Gue kan cuma refleks aja.” jawab Winda, asli cuek bebek. Winda tidak tahu bahwa sebenarnya ada maksud lain di balik kata-kata Lando. Ya, Lando memang perhatian terhadap Winda. Ia sudah tertarik pada Winda sejak ia pertama kali mengenalnya di kelas sepuluh. Tapi jelas, Winda tidak tahu itu.
“Ada apaan sih?” tanya Winda. Lando tersenyum penuh arti, lalu berkata, “Jalan ke mall, yuk. Ntar kita nonton bareng. Gimana? Atau ke Dufan aja? Gue yang traktir deh..”
Winda tampak menimbang-nimbang ajakan Lando.
“Jadi gimana? Mau nggak?” tanya Lando sekali lagi. Baiklah, Winda akan coba untuk membuka hatinya sekali lagi. Berharap ia akan kembali ceria seperti yang dulu. Dengan penuh keyakinan, akhirnya Winda mengangguk.
“Oke, gue mau. Tapi kita pergi ke Dufan aja ya? Beneran elo yang traktir, kan?” kata Winda pada Lando.
Lando mengangguk, “Oke, kalo gitu hari Sabtu sepulang sekolah kita berangkat. Lo jangan lupa bawa baju ganti. Oke?”
“Oke.” kata Winda senang.
...
Sudah jam 12 malam dan Winda tidak bisa tidur karena hatinya terus berdebar membayangkan hari esok. Jujur, Winda sangat tidak nyaman dengan perasaan ini. Semalam ia juga mendapat kiriman dari seseorang yang misterius lagi. Ia mendapat sebuah kotak yang berisi sepasang sneakers nike bernuansa perempuan.
Di kotak itu juga tertempel post-it bertuliskan,
Ini buat kamu, dipake ya..
...
Alhasil, keesokan harinya ia memakai sneakers cantik itu. Ia juga membawa baju ganti untuk pergi ke Dufan dengan Lando. Saat istirahat pertama, Lando menghampirinya. “Lo nggak lupa bawa baju ganti, kan?” tanya Lando memastikan. Winda yang sedang menulis rangkuman hasil pembelajaran Biologi barusan menoleh, “Nggak lupa, kok.”
“Lo pasti nggak bawa helm, kan? Tenang aja, gue udah bawa kok. Kemarin gue beli buat lo.” kata Lando. “Lo nggak ke kantin? Rajin banget sih jadi anak? Ke kantin, yuk..” ajak Lando. Winda tidak menolak ajakan Lando, ia mengikuti Lando pergi ke kantin.
Winda melihat Bila dan Tian yang biasanya duduk bersama di kantin, kini berpisah. Winda segera tahu apa yang terjadi. Ia jadi merasa sedikit bersalah.
...
Lando dan Winda sudah sampai di Dufan ketika pukul satu siang. Winda mengenakan baju kesayangannya juga sneakers keren itu. Sedangkan Lando mengenakan kemeja berwarna biru yang dilipat tiga per empat pada lengan dengan celana berwarna senada.
Mereka menikmati waktu kebersamaan. Saat menaiki Bianglala, tiba-tiba Winda meneteskan air mata, membuat Lando panik. Winda teringat kembali pada sosok yang sangat ia rindukan, Bila. “Lo kenapa nangis?” tanya Lando dengan lembut saat mereka masih ada di dalam Bianglala.
Tanpa sadar, Winda telah menceritakan masalahnya dengan Bila pada Lando. Sesuatu dari Lando membuat Winda percaya padanya. Ia mendengarkan dengan seksama, lalu sesekali memberi saran untuk Winda.
“Menurut gue sih, ikhlasin aja. Cowok nggak cuma satu. Jangan sedih terus. Buka lagi hati lo buat orang lain. Buat orang yang ada di depan lo ini..” kata Lando dengan lembut. Ia memang sengaja naik Bianglala waktu matahari terbenam dan berencana menembak Winda.
Winda kaget mendengar perkataan Lando, lalu lebih terkejut lagi saat tahu Lando sudah berlutut di hadapannya. “Winda, jujur gue suka sama lo. Selama ini gue yang ngirimin sesuatu ke elo. Maaf kalo gue udah bikin lo penasaran. Gue pengen lo jadi pacar gue. Mau nggak, lo jadi pacar gue?” tembak Lando tepat sasaran.
Winda senang akan ungkapan cinta Lando itu. Ia terharu hingga tangisnya makin menjadi. Ia mengangguk, menerima Lando sebagai pacarnya. Ya, ia akan kembali menjadi Winda yang dulu. Ia akan memaafkan Bila. Ia jadi makin merasa bersalah pada Bila.
Lando merasa senang, ia puas dengan hasil kencan hari ini. Ia memeluk Winda yang menjadi sangat kecil dalam pelukannya. “Makasih buat hari ini, Lan. Gue juga suka sama elo..” kata Winda dalam pelukan Lando.
“Sama-sama, sayang..” jawab Lando. Tepat di saat itu, ponsel Winda berbunyi. “Siapa sih yang telepon? Ganggu aja deh..” kata Lando kesal.
“Bentar ya,” kata Winda lalu mengangkat telepon itu. “Ya?” kata Winda.
“Gue udah putus sama Tian. Lo mau maafin gue, kan?” tanya seseorang di seberang sana dengan isakan. “Lo nggak perlu putus sama Tian. Gue udah maafin elo. Gue udah punya cowok, Bila..” kata Winda menitikkan air mata.
“Beneran, Winda? Makasih ya, elo emang sahabat terbaik gue. Makasih. Gue janji nggak akan mengkhianati lo lagi.” kata Bila di seberang sana. Bila menangis karena senang. Dan, telepon pun diakhiri.
“Siapa?” tanya Lando.
“Bila. Aku udah maafin dia. Aku ikhlasin semuanya, karena Tuhan udah memberikan aku yang lebih baik dari dia, kamu.” kata Winda.
“Ya, Tuhan memang sudah merencanakan segalanya, untuk kita..” kata Lando sambil tersenyum lalu merangkul bahu Winda dan mengajaknya pulang.