Adegan Sinetron Indonesia Tentang Dokter Yang Membodohi Penonton


Di televisi kita, banyak banget sinetron yang menampilkan karakter seorang dokter dan pekerjaannya di rumah sakit. Sayangnya, banyak nada sumbang tentang pencitraan dokter di sinetron yang biasanya dibuat antagonis, dandanan mirip germo, dan licik. Penulis skenario juga dengan semangat menciptakan adegan-adegan aneh.

Dokter yang menonton, tentu saja ngomel. Sesekali dia akan teriak di depan televisinya, “BAH! MANA PERNAH ADA DI RUMAH SAKIT SEPERTI INI?“ atau ”BAH!!! ITU KAN OBAT BUAT DICOLOKIN KE DUBUR? MASA DIMAKAN?” atau “BAH! MASA PASIEN DIRAWAT MENOR BANGET PAKE LIPSTIK?” , teriak dokter itu sambil menarik-narik rambutnya.

Buat penulis skenario & crew yang membuat cerita tentang dokter, tolong di-survey dulu, dong. Jangan sering-sering berlindung di balik alasan, “Namanya juga film!”. Akhirnya masyarakat yang dibodoh-bodohi.


1.ADEGAN SEKARAT

Pernah lihat adegan ini?

“Uhuk..uhuk… Nak…. Ibu sudah tidak kuat lagi… Uhuk..uhuk…. Ibpg[/img]

Tulisan ini aku buat karena secara nggak sengaja aku menonton sebuah sinetron tentang dokter. Bukannya sedih atau terharu, malah aku ketawa-ketawa sendiri. Kenapa? Karena banyak banget kejadian di situ yang tidak sesuai deu… uhuk…Ibu pesan… uhuk… jaga adik-adikm uhuk..uhuk… u…… aaaah…”

Kenyataannya:

Aku nggak pernah ngeliat pasien sekarat yang terbatuk-batuk saat ajal menjemput.

Kalau pun ada, kenapa harus pakai batuk? Masa setiap adegan sekarat semua sinetron pakai adegan batuk? Apa nggak bosan? Coba kalo kreatif dikit, sekali-sekali pakai bersin.

“Hatchiii….hatchii… Ibu sudah tidak kuat lagi… hatchiii!!! Ibu…hachi… ambilkan tisu, Nak.. hatchi… jaga adik-adikm…hatchiiii… u…aaaaahatchiii…”

Lebih seru, kan?

2. CABUT INFUS SEENAK UDELNYA

Pernah lihat adegan ini?

“Aaaah… kenapa aku tiba-tiba di rumah sakit? Selang-selang apa ini, menempel di tubuhku? Aku harus melarikan diri sekarang!”

Lalu aktor/aktris itu mencabut selang oksigen dan, parahnya, mencabut selang infus dengan sekali tarik.

Kenyataannya:

CROOOOT!!! Bisa mandi darah kalau jarum abbocath (jarum infus yang masuk ke pembuluh darah) ditarik paksa seperti itu!

Bayangkan adegan ini di dunia sebenarnya :

“Aaaah… kenapa aku tiba-tiba di rumah sakit? Selang-selang apa ini menempel di tubuhku? Aku harus melarikan diri sekarang!”

Lalu aktor/aktris itu mencabut selang oksigen dan parahnya mencabut selang infus dengan sekali tarik.

Dokter tiba-tiba masuk.

Dokter : “Oh.. kamu sudah sadar..”

CROOOOT!!! Darahnya muncrat ke muka dokter itu.

Dokter : “MY EYES!!! MY EYES!!! I’M BLIND!!!”

3. ADEGAN OPERASI MATA

Burem… burem… Enam detik kemudian, penglihatan si pasien sudah sangat jelas.

Pertama, tidak ada yang namanya cangkok bola mata. Yang ada cangkok kornea atau lapisan bening yang ada di bagian depan mata, and, please, gak pernah ada yang setelah matanya dibuka langsung bisa melihat. Mereka harus melewati proses pemulihan dulu.

Aku pernah ditanya keluarga pasien, “Dokter, setelah Ibu saya dioperasi cangkok kornea ini, kok masih gak langsung bisa melihat jelas? Kok nggak kayak di TV, ya?”

Kalo seperti ini, siapa yang mau disalahkan? Palingan jatuh-jatuhnya, si dokter harus menjelaskan proses yang sebenarnya kepada pasien dan keluarganya sampai mulut berbusa-busa.

Dan satu lagi, kalau operasi mata itu, yang dibalut cuma matanya aja. Perbannya gak sampai keliling kepala. Emangnya mau main mumi-mumian?

4. AMNESIA

Kecelakaan lalu amnesia atau lupa ingatan.

“Aku dimana? Kamu siapa??? Kamu siapa???” kata penderita pada seseorang di depannya.

“Aku adalah ….. majikanmu,” jawab orang itu dengan wajah serius.

Dan dalam waktu sekejap, tiba-tiba kepala penderita amnesia itu terbentur lagi saat hendak berdiri dari tempat tidur — dan langsung ingat semua!

“Hey! Kamu bukan majikanku! Kamu pembantuku!!!”

Pembantu : “Oops!”

5. BALUT LUKA

Kalau kecelakaan, pasti jidatnya dibalut semua sampai melingkar keliling kepala, ditambah darah boongan, bulat dan merah, tepat menodai kain kassa pembalut luka.

Umm… boong banget, nih. Kalo bekas Betadine, sih, bolehlah. Tapi kalau darah merah? Berarti lukanya gak diobatin, dong!

“Papa… kau terluka!”

“Papa… jidatmu sedang datang bulan!”

6. OPERASI

Kalau yang namanya di ruang operasi, dokter itu nggak pernah ada yang pake jas putih dokter doang! Pasti ganti baju operasi yang steril. Warna dan modelnya beda! Ini, jas dokter bekas ngupil juga main masuk aja!

Pernah juga pas sedang melakukan operasi, dokternya keluar-masuk cuma buat nemuin keluarga pasien!

“Ibu… anak Ibu mau kita operasi sekarang.”

Dokternya masuk lagi ke ruang operasi, terus keluar lagi.

“ Ibu…apakah anak Ibu menderita penyakit lain?”

Dokternya masuk lagi, keluar lagi.

“Ibu… perutnya sudah kita sayat. Apakah anak Ibu pernah menderita bisul?”

Pokoknya, itu dokter keluar masuk ruang operasi pake baju jas dokternya dengan bertanya hal-hal yang nggak penting.

Kalau sempat ada dokter begini di kehidupan nyata, tuh dokter udah disate, ‘kali!

7. RUANG ICU

Ruang ICU isinya cuma oksigen doang! Buset, ini ICU dimana? Kilimanjaro?

ICU itu banyak instrumen-instrumen, seperti alat bantu pernafasan, alat monitor jantung, dan sebagainya.

Yaaah, mungkin properti-nya sulit, ya? But, who cares?!!! Tetap tidak sesuai dengan realita. Pembohongan publik? Mungkin. Buktinya ada yang dirugikan karena ini. Dokter , yang terpaksa berkali-kali menjelaskan ke pasien sampai berbuih mulutnya.



Cape juga kalau diingat satu-persatu, soalnya masih banyak lagi. Cuma, yah, gitu, deh… Biasanya sebelum masuk rumah sakit, pemeran utamanya tabrakan dulu. Kalau dipikir-pikir, kenapa, ya, sinetron Indonesia demen banget dengan adegan tabrakan mobil? Sekali-sekali kepengen juga melihat adegan ditabrak kereta api… atau ditabrak pesawat pengintai atau UFO…banteng… kuda…

Atau:

Rina lari dari rumah setelah mengetahui bahwa dirinya anak angkat. Setelah berlari ke jalanan, ibunya menjerit:

“RINAAAA!! AWAS BEKICOT ITU!!!!”

Rina: “AAAAA….!!!!“

*pingsan & amnesia lagi*

Cerita Inspirasi - Cinta Alyf


Di saat cinta yang telah mereka lalui selama 1 tahun, sering kali masalah datang menerpa. Mulai dari hubungan mereka yang tidak di setujui oleh orang tua sampai putus nyambung hubungan mereka. Ketika di suatu saat mereka telah lulus SMA, Afyqa pun mulai berangkat menuju Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya di STIS ( Sekolah Tinggi Ilmu Statistik ) Jakarta Timur. Sedangkan Alyf masih berada di tempat asalnya di papua. Setelah beberapa hari Afyqa di sana, SMS dan telpon dari alyf pun tidak pernah di jawab. Dengan bersedih hati Alyf selalu berusaha membuat yang terbaik buat afyqa walaupun tidak pernah di hargai. Alyf berjanji pada afyqa akan temani dia bersekolah di sana, namun orang tua alyf ingin alyf bersekolah di malang, namun demi cinta alyf kepada afyqa dia tetap bersikeras akan kuliah di sana. Dan nyatanya alyf harus mengikuti tes untuk masuk di perguruan tinggi di malang, namun karena teringat janjinya kepada afyqa, saat tes alyf mengisinya dengan asal-asalan dan setelah 1 minggu kemudian saat hasil pun di umumkan alyf tidak tembus, namun sedikit membuat orang tuanya kecewa. Setelah dari itu, alyf pun mulai memilih perguruan tinggi swasta di Jakarta karena saat itu perguruan negeri sudah di tutup pendaftarannya. Setelah mencari alyf pun memilih kuliah di depok. Setelah melalui tes, 1 minggu kemudian pun alyf mengambil hasilnya. Walaupun lulus dengan nilai yang terendah namun dia senang bisa lebih dekat dengan afyqa walaupun jarak yang bisa di katakan sekitar 30km. setelah berbulan-bulan tiada kabar yang di berikan oleh afyqa. Alyf pun tetap hubungi afyqa dengan menelpon sebanyak mungkin, namun apa daya tidak ada tanggapan. Di saat alyf memikirkan apa yang dia lakukan buat afyqa tidak ada artinya, air matapun menetes seiringan dengan detik-detik di hari sabtu. Alyf pun mengingat untuk membuka Facebook, dan yang dia lihat status dari afyqa “capek selesai jalan2 sama teman-teman” Betapa sedihnya alyf saat itu, menangis namun afyqa bersenang-senang dan tertawa. sambil menatap foto yang di upload afyqa saat bersenang-senang bersama teman air matapun tak henti-hentinya menetes. Setelah beberapa jam kemudian, afyqa pun sms dan berkata “alyf lebih baik sekarang kita sendiri-sendiri saja”. Membaca kata-kata yang begitu menyakitkan buat alyf, alyfpun bersedih terus. Namun cinta yang besar dari dasar hati alyf, alyf tetap setia untuk selalu berharap afyqa kembali bersamanya dalam tawa, senyum dan pelukan lagi. Setelah beberapa hari kemudian alyfpun menghubungi afyqa, dan bertanya kamu masih sayang kan sama aku ? dan afyqa menjawab iya aku masih sayang sama kamu. Apa kamu masih mau bersama aku lagi ? jawab afyqa, aku tidak bisa. Lebih baik kita sendiri-sendiri saja dulu. Entah apa yang di pikirkan afyqa hingga teganya dia tidak memikirkan apa yang di rasakan alyf. 1 minggu pun berlalu alyf mulai menanyakan hal yang sama namun ada tambahan beberapa kata “ afyqa aku rindu kamu, rindu senyummu, rindu marahmu dan ku rindu semua tentangmu” dan tersentuhlah perasaan afyqa. Dan ia pun mau bersama alyf lagi, setelah mereka sudah lama berpacaran, alyf merasa tidak pernah di hargai sedikitpun. Dan alyf pun berkata, afyqa aku bukan seperti mereka yang mencintai karena nafsu, karena harta atau apapun itu. Tapi aku mencintaimu karena ingin memilikimu seutuhnya, biarlah sudah kau tetap tidak menghargai aku, namun aku berjanji aku akan bahagia bila caramu bahagia adalah dengan menyakitiku. Dan setelah beberapa hari yang mereka lewati afyqa pun masih sama sikapnya terhadap alyf. Tapi karena cinta tulus yang di berikan alyf pada afyqa, dia akan menemani afyqa sampai saat nanti dia tidak ada lagi di dunia ini.

CERITA SEDIH CINTA



cerita sedih,cerita cinta,cerita lucu
Cerita sedih cinta adalah cerita seorang wanita yang telah diputuskan oleh seorang kekasihnya yang pergi,Cerita sedih cinta berita terkini dan terbaru yang kami sediakan buat anda semua dibawah ini mungkin bisa anda semua pergunakan kepada sang pujangga hati anda semua,mungkin juga andasemua yang ingin belajar mencintai dan ingin memberikan puisi ibu yang sesungguhnya dibawah ini kami sudah sediakan semua untuk anda semua,Nah mungkin anda semua saat-saat ini ingin mencari tau arti kata tentang cinta dan puisi lucu yang sebenarnya dibawah ini anda bisa dapatkan semua.


Tanpa terasa 2 tahun telah berlalu. Hubungan Lala dan Anto tetap terjalin meskipun tidak ada seorang pun karyawan kantor yang mengetahui hubungan mereka. Pada suatu hari Anto berkata ingin melamar Lala. Pada awalnya Lala bingung memutuskan pilihan. Salah satu dari mereka harus ada yang keluar dari kantor kalau memang benar ingin menikah. Di satu sisi dia merasa sayang untuk melepaskan jabatan yang sudah diperolehnya, namun di sisi lain dia ingin menikah dengan Anto. Atas petimbangan yang matang, Lala memutuskan untuk mengalah dan keluar dari kantor tanpa meneruskan bekerja kembali.

Meskipun hari pernikahan sudah di depan mata, pekerjaan yang ditekuni oeh Anto tidak memberikannya waktu untuk bersantai. Keseharian Anto malah semakin sibuk ketika dia dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi. Tidak jarang Anto harus dinas ke luar kota untuk keperluan pekerjaan. Lala hanya bisa pasrah dengan kesibukan Anto. Toh dia juga seperti itu untuk masa depan mereka juga.

Hingga pada suatu hari datang kabar duka dari Anto. Travel yang ditumpangi oleh Anto mengalami kecelakaan parah. Lala yang mendengar kabar tersebut langsung menuju rumah sakit tempat Anto dirawat. Anto mengalami pendarahan di otak. Kaki kanannya harus diamputasi karena terjepit. Lala hanya bisa menangis melihat keadaan yang seperti itu. Selama 2 hari Anto di rawat di rumah sakit tidak pernah seharipun Lala meninggalkannya. Kondisi kesehatan Anto makin buruk dari hari ke hari. Pada hari ke 3 Anto dinyatakan meninggal.


Andre dan Sherly adalah sepasang kekasih yang serasi walaupun keduanya berasal dari keluarga yang jauh berbeda latar belakangnya. Keluarga Sherly berasal dari keluarga kaya raya dan serba berkecukupan, sedangkan keluarga Andre hanyalah keluarga seorang petani miskin yang menggantungkan kehidupannya pada tanah sewaan.

Dalam kehidupan mereka berdua, Andre sangat mencintai Sherly. Andre telah melipat 1000 buah burung kertas untuk Sherly dan Sherly kemudian menggantungkan burung-burung kertas tersebut pada kamarnya. Dalam tiap burung kertas tersebut Andre telah menuliskan harapannya kepada Sherly. Banyak sekali harapan yang telah Andre ungkapkan kepada Sherly. “Semoga kita selalu saling mengasihi satu sama lain”,”Semoga Tuhan melindungi Sherly dari bahaya”,”Semoga kita mendapatkan kehidupan yang bahagia”,dsb. Semua harapan itu telah disimbolkan dalam burung kertas yang diberikan kepada Sherly.

Suatu hari Andre melipat burung kertasnya yang ke 1001. Burung itu dilipat dengan kertas transparan sehingga kelihatan sangat berbeda dengan burung-burung kertas yang lain. Ketika memberikan burung kertas ini, Andre berkata kepada Sherly:

“Sherly, ini burung kertasku yang ke 1001. Dalam burung kertas ini aku mengharapkan adanya kejujuran dan keterbukaan antara aku dan kamu. Aku akan segera melamarmu dan kita akan segera menikah. Semoga kita dapat mencintai sampai kita menjadi kakek nenek dan sampai Tuhan memanggil kita berdua ! “

Saat mendengar Andre berkata demikian, menangislah Sherly. Ia berkata kepada Andre:

“Ndre, senang sekali aku mendengar semua itu, tetapi aku sekarang telah memutuskan untuk tidak menikah denganmu karena aku butuh uang dan kekayaan seperti kata orang tuaku!”

Saat mendengar itu Andre pun bak disambar geledek. Ia kemudian mulai marah kepada Sherly. Ia mengatai Sherly matre, orang tak berperasaan, kejam, dan sebagainya. Dan Akhirnya Andre meninggalkan Sherly menangis seorang diri.

Andre mulai terbakar semangatnya. Ia pun bertekad dalam dirinya bahwa ia harus sukses dan hidup berhasil. Sikap Sherly dijadikannya cambuk untuk maju dan maju. Dalam Sebulan usaha Andre menunjukkan hasilnya. Ia diangkat menjadi kepala cabang di mana ia bekerja dan dalam setahun ia telah diangkat menjadi manajer sebuah perusahaan yang bonafide dan tak lama kemudian ia mempunyai 50% saham dari perusahaan itu. Sekarang tak seorangpun tak kenal Andre, ia adalah bintang kesuksesan.

Suatu hari Andre pun berkeliling kota dengan mobil barunya. Tiba-tiba dilihatnya sepasang suami-istri tua tengah berjalan di dalam derasnya hujan. Suami istri itu kelihatan lusuh dan tidak terawat. Andre pun penasaran dan mendekati suami istri itu dengan mobilnya dan ia mendapati bahwa suami istri itu adalah orang tua Sherly.

Andre mulai berpikir untuk memberi pelajaran kepada kedua orang itu, tetapi hati nuraninya melarangnya sangat kuat. Andre membatalkan niatnya dan ia membuntuti kemana perginya orang tua Sherly.

Andre sangat terkejut ketika didapati orang tua Sherly memasuki sebuah makam yang dipenuhi dengan burung kertas. Ia pun semakin terkejut ketika ia mendapati foto Sherly dalam makam itu. Andre pun bergegas turun dari mobilnya dan berlari ke arah makam Sherly untuk menemui orang tua Sherly.

Orang tua Sherly pun berkata kepada Andre:

”Ndre, sekarang kami jatuh miskin. Harta kami habis untuk biaya pengobatan Sherly yang terkena kanker rahim ganas. Sherly menitipkan sebuah surat kepada kami untuk diberikan kepadamu jika kami bertemu denganmu.”

Cerita Sedih "Pernahkah kau mencintaiku seperti aku mencintaimu?"




"Pernahkah kau mencintaiku seperti aku mencintaimu?"
kata-kata itu selalu ia ucapkan pada kekasihnya itu.

Gadis itu benar-benar mencintai seseorang yang sepantasnya ia pangil paman.
Begitu cintanya ia kepada laki-laki itu sampai ia rela lakukan apa saja asal bisa bersama denganya.
Tidak perduli dengan apapun.

"Aku mencintaimu, tapi maaf tidak bisa menikahimu."
Entahlah.
Berkali-kali laki-laki itu mengucapkan kata cinta tetap saja banyak keraguan didalam hati gadis itu. Dalam benaknya hanya terpikir kalau laki-laki itu hanya ingi mempermaninkanya.

"Kau tahu aku milik orang lain, tapi mengapa tetap memaksakan hubungan ini?"
gadis kecil itu tidak pernah bisa menjawab, mengapa ia selalu memaksakan hubungan yang sudah jelas akhirnya. hanya sebuah kalimat kecil yang selalu menyertai jawabanya. "Karena aku cinta."



Hari dimana mereka harus berpisah semakin dekat. hari itu begitu menyakitkan untuk gadis itu. ia selalu memohon pada kekasihnya agar selalu menemaninya di hari-hari terakhirnya bersama kekasihnya itu.
"Temani aku ya, tiga hari ini saja. setelah itu semuanya berakhir."
kekasihnya tidak pernah menjawab iya ataupun tidak. hanya seperti mengantungkan harapan pada gadis itu.

"Kalau bukan karena cinta." gadis itu mulai meneteskan air mata "Temanilah aku karena kau kasihan padaku."

Tapi entah mengapa kekasihnya tetap saja tidak bisa menemaninya, bahakan hingga hari terakhir dia berada disana kekasihnya tetap diam dan tidak menemuinya.
"Mengapa kau seperti ini kepadaku? apakah aku benar-benar tidak ada artinya untukmu. apakah tidak ada sedikitpun cinta untukku. mengapa kau tidak mau menemuiku. padahal esok kita akan berpisah."
Entah sudah berapa banyak air mata yang telah ia buang untuk kekasihnya itu. ia merasa saat ini cintanya pada laki-laki itu benar-benar tidak ada artinya. sedikitpun laki-laki itu tidak perduli dengan perasaanya.
Kini ia hanya tinggal menghitung jam sampai pagi menjelang dan semuanya berakhir.

"Tuhan, mengapa aku begitu tidak ikhlas kehilangannya. Padahal Engkau sudah memperingatkanku untuk jangan mencintainya. Bahkan akupun tahu dia takan pernah menjadi milikku."

Jarum panjang pada jam dinding itu masih terus berputar. dan entah mengapa lajunya semakin cepat. Beberapa saat kemudian handphone gadis itu berdering.
"Aku didepan rumahmu, keluarlah."
gadis itu berlari kencang keluar rumah, berharap kali ini benar-benar kekasihnya yang ada diluar sana.
Ya, memang dia. berdiri menunduk didepan mobilnya. entahlah, wajahnya tak begitu nampak. apaka dia sedih atau senang gadis itu tidak pernah tahu.
Jam menunjukan pukul 11.45 pm. Malam ini terasa begitu dingin, tapi gadis itu hanya berlari pergi mengejar kekasihnya hanya dengan sedal jepit dan celana pendek serta baju tipisnya.
"Kau tidak ada baju lain?"
gadis itu hanya menggeleng.
"Kenapa tidak pakai jaket?"
"Semuanya sudah kumasukan dalam koper."

Dia masih tetap diam. tidak banyak kata yang dia ucapkan malam itu.
"Kau tidak mau memelukku?" gadis itu menatap kekasihnya pelan.
"Tidak."
"Kenapa?"
"Tidak ada."
"Kau tidak mencintaiku?"
"Aku cinta padamu."
"Tapi mengapa kau terus menyakitiku?"
"Karena kau juga menyakitiku."
"Aku, menyakitimu? apa, apa yang membuatmu tersakiti."
"Sudahlah, kita ganti topik saja!!" wajah laki-laki itu tampak sedikit marah dan kesal.
"Kau tidak pernah menyayangiku. kau lebih suka melihatku menangis kan." air mata itu sudah terlalu sering dibendung. air matanya sudah tidak tertahan lagi. semua yang ia rasakan pada kekasihnya ia katakan begitu saja tanpa perduli dengan apapun.

"Kau senang aku pergi, karena kau bisa dengan mudah dapatkan pengantiku."
semuanya, semuanya sudah diucapkan. bahkan gadis itupun lupa apa yang tadi ia ucapkan pada kekasihnya.

"Ya semuanya benar!!" laki-laki itu tampak begitu marah. " Kau benar, aku tidak mencintaimu, tidak menyayangimu, aku hanya memanfaatkanmu, dan ya semuanya benar bahwa aku hanya orang jahat. kau puas!!!"

kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan gadis itu tanpa seutas senyumpun untuknya.

matahari mulai nampak. koper-koper itu tampak begitu besar dan berat. Semua kawan-kawannya sudah bersiap didepan rumah hanya tiggal gadis itu.
"Datanglah sebentar saja kerumahku. Sebentar saja." air mata itu terus mengalir. "Kumohon."
"Aku tidak bisa. aku harus bekerja."
"Sebentar saja."
kekasihnya tidak banyak bicara dan segera mematikan telponya.
Sesaat kemudian sebuah pesan singat masuk ke handphonenya.

Maaf aku tidak bisa datang.
Pulanglah.
Suatu hari nanti aku pasti akan menemuimu.
aku mencintaimu.

Kenapa begitu. kenapa laki-laki itu begitu jahat pada gadis itu.
yang bisa dilakukan gadis itu hanyalah memohon agar kekasihnya bisa datang.
tapi tetap, kekasihnya tidak pernah datang.

"Tuhan, aku benar-benar tidak ikhlas dengan semua ini. kalau Kau sayang padaku, Tuhan. tunjukan padaku kalau dia benar-benar mencintaiku. Perlihatkan padaku kalau ada aku dihatinya."

Bus itu melaju cepat menuju Airport, hinga Doaaaaaaarrrrrrr.... sebuah kecelakan besar menumbangkan bus itu.
4 dari 13 orang penumpangnya mengalama cedera berat, termasuk gadis itu. 7 buah mobil ambulan datang dengan cepat dan mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat.

gadis itu tampak tidak merasakan apa-apa padahal lukanyalah yang paling berat. dia hanya terbaring diam melihat keadaan disekitarnya. hinga seseorang datang dengan berlari dan segera memeluknya.
"Apa yang terjadi padamu?"
gadis itu tetap dia, kini dia bisa merasakan lukanya, begitu sakit, pedih dan sangat menyiksa.
"Dengarkan aku. semuanya akan baik-baik saja. dokter akan menolongmu."
wajah laki-laki itu tampak begitu khawatir.
"Aku, tidak ingin pergi." suara gadis itu terbata-bata "Tidak ingin meninggalakanmu."
"Kau tidak akan pernah meningalkanku dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
"Sa-kit... disini sakit." gadis itu mengengam dadanya kencang, seraya mengisyaratkan sesuatu.
"Semuanya akan baik-baik saja. aku tidak akan meningalkanmu."
gadis itu mulai tersenyum tipis.
"Kau mau kita berpisah kan, sekarang kita akan berpisah. Tuhan tidak mau kita bersama. Dia ingin aku menemaniNya. karena kau tidak bisa menemaniku." Senyum gadis itu semakin melebar tapi wajahnya masih tampak kesakitan. "Kau mau aku pulang kan, aku akan pulang tapi kau tidak bisa menemuiku lagi."
laki-laki itu hanya terdiam. matanya mulai memerah.entah apa yang kini bergejolak dihatinya. begitu pedih dan menyakit.

"Sayang, Pernahkah Kau mencintaiku seperti aku mencintaimu?"
tubuh gadis ini begitu dingin. denyut nadi dan detak jantungnya mulai tak terdengar. darah segar masih terus mengucur dari hidung dan kepalanya. dan senyum manisnya dibibirnya menemani matanya yang kini mulai tertutup.

Entahlah harus berapa kali kukatakan bahwa aku mencintaimu.
Entahlah apa yang harus kulakukan agar kau percaya aku menyayangimu.
Kau tahu kita takkan pernah bisa bersama, tapi kau terus memaksakan semuanya.
Kau tahu aku tidak akan bisa melihatmu pergi tapi kau terus memaksaku untuk datang.
Sekarang kau benar-benar meningalkanku dan berkata bahwa aku bahagia tanpamu.
Penahkah aku mencinkaimu seperti kau mencitaiku?
Aku pernah mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu dan cintaku lebih besar dari cintamu kepadaku

Cerita yang menyedihkan


Rina sedang menyiapkan makan malam ketika aku tiba di rumah. Aku memegang tangannya dan berkata, “ Abang ada sesuatu nak beritahu”. Dia membisu dan dapat ku lihat keresahan di matanya.

Tiba-tiba lidahku kelu. Tapi aku nekad untuk memberitahunya. “Abang rasa kita sudah tidak serasi lagi. Kita cerai?”.Akhirnya, terlepas jua beban di dada. Tapi ku lihat Rina tenang dan dia hanya bertanya dengan lembut. “Mengapa bang? Apa salah saya?”. Giliran aku membisu dan ini menimbulkan kemarahan Rina. Air matanya mula menitis. Aku tahu dia mahukan jawapan tapi aku tiada jawapannya. Yang ku tahu, hatiku kini milik Tasya. Cintaku bukan pada Rina lagi.



Aku katakanya padanya yang dia boleh ambil rumah dan kereta apabila kami bercerai. Rina merenung wajahku.Pandangannya kosong. 10 tahun kami berkahwin tetapi malam ni kami umpama orang asing. Aku kasihankannya tetapi untuk berpatah balik tidak sesekali. Aku cintakan Tasya. Air matanya yang sekian tadi bertakung mula mengalir deras. Sudah ku jangka. Malah aku lega melihatnya menangis. Niatku untuk bercerai semakin jelas dan nyata.

Keesokannya, Rina mengatakan dia tidak mahu apa-apa dari penceraian kami melainkan tempoh 1 bulan. Dia meminta bahawa dalam satu bulan itu kami teruskan rutin harian kami seperti biasa sebagai suami isteri. Alasannya, anak kami bakal menduduki peperiksaan dalam masa sebulan lagi dan dia tidak mahu anak kami terganggu dengan penceraian kami. Aku bersetuju.

Kemudian Rina menyuruhku mengingat kembali saat aku mendukungnya ke bilik kami pada malam pertama kami. Dia meminta untuk tempoh sebulan ini, aku mendukungnya keluar dari bilik tidur kami ke pintu depan setiap pagi. Pada ku memang tidak masuk akal. Tetapi aku tetap bersetuju.

Aku memberitahu Tasya permintaan Rina. Dia ketawa dan hanya mengatakan ini semua kerja gila. Tidak kira apa muslihat Rina, dia tetap akan diceraikan. Aku hanya diam membatu.

Semenjak aku menimbulkan isu penceraian, kemesraan kami terus hilang. Hari pertama aku mendukungnya keluar, aku merasa kekok. Rina juga. Anak kami bertepuk tangan di belakang sambil ketawa dan berkata, “Ayah dukung ibu ya”. Kata-katanya amat menyentuh hatiku. Mata Rina bergenang dan dengan lembut dia memberitahuku agar jangan sampai anak kami tahu yang kami akan bercerai. Aku mengangguk setuju. Aku menurunkannya di muka pintu. Dan kami memandu berasingan ke tempat kerja.

Masuk hari kedua, hilang sedikit rasa kekok. Rina bersandar di dadaku. Dapat ku cium harumannya. Dapat ku lihat kedutan halus di wajahnya Aku sedar dia tidak muda lagi seperti dahulu. Ternyata perkahwinan kami memberi kesan kepadanya. Selama satu minit, aku tertanya-tanya apa yang telah aku lakukan.

Masuk hari keempat, aku dapat rasakan keintiman kami telah kembali. Tanpa sedar hatiku berkocak mengatakan mungkinkan cintaku masih padanya. Hari kelima dan keenam, aku menyedari keintiman kami mula bercambah kembali. Aku tidak memberitahu Tasya tentang perkara ini. Masuk hari-hari seterusnya, rutin ini jadi lebih mudah malah aku nantikannya setiap pagi.

Suatu pagi, Rina sedang memilih baju untuk dipakai. Katanya tiada yang sesuai. Dia mengeluh. “Semua baju saya besar”. Baru ku sedar, dia semakin kurus. Mungkin itu jugalah sebabnya aku semakin mudah mendukungnya. Tiba-tiba terlintas di fikiranku. Mungkin Rina sedang menyembunyikan keperitan hatinya lantaran sikapku selama ini. Tanda sedar aku merangkul tubuhnya dan membelai rambutnya.

Kemudian, muncul anak kami di muka pintu sambil berkata “ Ayah, cepat lah dukung ibu keluar”. Padanya, melihat aku mendukung keluar isteriku setiap pagi adalah rutin hariannya. Rina memanggil anak kami lalu memeluknya erat. Ku palingkan mukaku kerana takut aku sndiri mengubah fikiran di saat ini. Aku kemudian mendukungnya dan tangannya melingkari leherku. Tanpa sedar, ku eratkan rangkulanku. Dapat ku rasakan badannya sangat ringan.

Hari ini genap sebulan. Di muka pintu aku menggenggam tangannya dan berkata “ Abang tidak sedar yang selama ini kita kurang keintiman”. Aku terus melangkah ke kereta dan terus memandu ke pejabat. Sesampainya di pejabat, aku terus ke bilik Tasya. Sebaik pintu terbuka, aku masuk dan aku beritahu dia “Maaf Tasya. Saya tidak akan bercerai dengan Rina. Sekarang saya sedar saya masih cintakan dia”.

Muka Tasya berubah merah. Tapi ku kata jua,“Maaf Tasya. Saya dan Rina tidak akan bercerai. Perkahwinan kami membosankan mungkin kerana saya tidak menghargai apa yang kami ada dan kongsi selama ini, bukan kerana kami tidak lagi menyintai satu sama lain”. Tasya menjerit sekuat hati dan aku terus melangkah keluar.

Aku kembali ke kereta dan niat hatiku mahu pulang ke rumah dan memohon maaf dari Rina, isteriku. Aku singgah di sebuah kedai bunga untuk membeli sejambak tulip merah kesukaan Rina. Aku capai sekeping kad dan ku tulis, “Abang akan dukung Rina setiap pagi hingga maut memisahkan kita”.

Setibanya di rumah, aku terus berlari ke bilik kami dan mendapati Rina terbaring tenang di atas katil. Ku belai wajahnya sambil memanggil namanya tapi tiada sahutan. Rina kaku. Hatiku berdetak keras.

Kini Rina pergi untuk selamanya. Perpisahan yang ku pinta ternyata ditunaikan. Sekian lama Rina berperang dengan KANSER RAHIM tetapi aku begitu sibuk dengan Tasya untuk menyedarinya. Rina tahu bahawa dia akan mati tidak lama lagi dan dia mahu menyelamatkan aku daripada reaksi negatif dari anak kami, sekiranya kami tetap bercerai. Rina mahu sekurang-kurangnya di mata anak kami, aku adalah suami yang penyayang.

Perkara-perkara mudah dan ringkas yang anda lakukan bersama adalah yang sebenarnya penting dalam perkahwinan. Bukan banglo, kereta, harta, dan wang di bank. Semua itu hanya wujudkan persekitaran yang kondusif untuk kebahagiaan tetapi tidak dapat memberi kebahagiaan pada kita.

Jadi carilah masa untuk menjadi sahabat kepada isteri/suami anda dan lakukan perkara-perkara kecil untuk satu sama lain yang membina keintiman. Binalah kemanisan rumah tangga anda. Hargailah setiap pengorbanan pasangan anda..

Kisah Cinta Paling Sedih



Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya.
Menikah karena paksaan orangtua,  membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku.
Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. 
Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku. Di rumah kami, akulah ratun
ya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya. “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku. Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang. Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku. Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy! Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi. Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.” Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?” Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.” Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus. Bagaimana pendapat kamu dengan “Kisah Cinta Paling Sedih” atau cerita paling mengharukan di atas ? saya rasa kamu mulai ingusan dengan mata merah sedikit netesin air mata. Bener kan ? Tolong share ke temen-temen di facebook dong atau like nih kisah paling sedih

Jujur Ini Kisah Yang Sangat Sedih


Sepasang suami isteri, seperti pasangan lain di kota-kota besar, meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah semasa keluar bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan berusia tiga setengah tahun. Bersendirian
di rumah dia kerap dibiarkan pembantunya yang sibuk bekerja bermain di luar, tetapi pintu pagar tetap dikunci. Bermainlah dia sama ada berbuai-buai di atas buaian yang dibeli bapanya, ataupun memetik bunga raya, bunga kertas dan lain-lain di laman rumahnya.

Suatu hari dia terjumpa sebatang paku karat. Dia pun melakar simen tempat letak kereta ayahnya tetapi kerana diperbuat daripada marmar, lakaran tidak kelihatan. Dicubanya pada kereta baru ayahnya. Ya... kerana kereta itu bewarna gelap, lakarannya jelas. Apa lagi kanak-kanak ini pun melakarlah melahirkan kreativitinya. Hari itu bapa dan ibunya bermotosikal ke tempat kerja kerana laluannya sesak sempena perayaan Thaipusam.

Penuh sebelah kanan dia beredar ke sebelah kiri kereta. Dilakarnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu langsung tak disedari si pembantu rumah



Pulang petang itu, terkejut benar pasangan itu melihat kereta yang baru setahun dibeli dengan bayaran ansuran, berbatik-batik. Si bapa yang belum pun masuk ke rumah terus menjerit, "Siapa punya kerja ni?" Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan tambah-tambah melihat wajah bengis tuannya.

Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan "Tak tahu... !" "Duduk di rumah sepanjang hari tak tahu, apa kau buat?" herdik si isteri lagi. Sia anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari bilik. Dengan penuh manja dia berkata "Ita buat ayahhh.. cantik kan!" katanya menerkam ayahnya ingin bermanja seperti selalu.

Si ayah yang hilang sabar merentap ranting kecil pokok bunga raya di depannya, terus dipukul bertalu-talu tapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa-apa terlolong-lolong kesakitan sekaligus ketakutan. Puas memukul tapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Si ibu cuma mendiamkan diri, mungkin setuju dan berasa puas dengan hukuman yang dikenakan.

Pembantu rumah melopong, tak tahu nak buat apa-apa. Si bapa cukup rakus memukul-mukul tangan kanan dan kemudian tangan kiri anaknya. Selepas si bapa masuk ke rumah dituruti si ibu, pembantu rumah menggendong anak kecil itu, membawanya ke bilik. Dilihatnya tapak tangan dan belakang tangan si anak kecil calar balar.

Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiram air sambil dia menangis. Anak kecil itu pula terjerit-jerit menahan kepedihan sebaik calar-balar itu terkena air. Si pembantu rumah kemudian menidurkan anak kecil itu. Si bapa sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua-dua belah tangan si anak bengkak.

Pembantu rumah mengadu. "Sapukan minyak gamat tu!" balas tuannya, bapa si anak. Pulang dari kerja, dia tidak melayan anak kecil itu yang menghabiskan masa di bilik pembantu. Si bapa konon mahu mengajar anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah langsung tidak menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu tetapi setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. "Ita demam... " jawap pembantunya ringkas. "Bagi minum panadol tu," balas si ibu. Sebelum si ibu masuk bilik tidur dia menjenguk bilik pembantunya. Apabila dilihat anaknya Ita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup semula pintu.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahu tuannya bahawa suhu badan Ita terlalu panas. "Petang nanti kita bawa ke klinik. Pukul 5.00 siap" kata majikannya itu. Sampai waktunya si anak yang longlai dibawa ke klinik. Doktor mengarahnya ia dirujuk ke hospital kerana keadaannya serius. Setelah seminggu di wad pediatrik doktor memanggil bapa dan ibu kanak-kanak itu.
"Tiada pilihan.." katanya yang mencadangkan agar kedua-dua tangan kanak-kanak itu dipotong kerana gangren yang terjadi sedah terlalu teruk. "Ia sudah bernanah, demi nyawanya tangan perlu dipotong dari siku ke bawah" kata doktor. Si bapa dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa diri tunggang terbalik, tapi apalah dapat dikatakan. Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si bapa terketar-ketar manandatangani surat kebenaran pembedahan.
Keluar dari bilik pembedahan, selepas ubat bius yang dikenakan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga terpinga-pinga melihat kedua-dua tangannya berbalut putih. Direnung muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis.
Dalam seksaan menahan sakit, si anak yang keletah bersuara dalam linangan air mata. "Abah.. Mama... Ita tak buat lagi. Ita tak mau ayah pukul. Ita tak mau jahat. Ita sayang abah.. sayang mama." katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa. "Ita juga sayang Kak Narti.." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuatkan gadis dari Surabaya itu meraung seperti histeria.

"Abah.. bagilah balik tangan Ita. Buat apa ambil.. Ita janji tak buat lagi! Ita nak makan macam mana? Nak main macam mana? Ita janji tak conteng kereta lagi," katanya bertalu-talu. Bagaikan gugur jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi, tiada manusia dapat menahannya.

Pengorbanan Ibu, yang baca pasti nangis

Saat aku beranjak dewasa, aku mulai mengenal sedikit kehidupan yang menyenangkan, merasakan kebahagiaan memiliki wajah yang tampan, kebahagiaan memiliki banyak pengagum di sekolah, kebahagiaan karena
kepintaranku yang dibanggakan banyak guru. Itulah aku, tapi satu yang harus aku tutupi, aku malu mempunyai seorang ibu yang BUTA! Matanya tidak ada satu. Aku sangat malu, benar-benar

Aku sangat menginginkan kesempurnaan terletak padaku, tak ada satupun yang cacat dalam hidupku juga dalam keluargaku. Saat itu ayah yang menjadi tulang punggung kami sudah dipanggil terlebih dahulu oleh yang Maha Kuasa. Tinggallah aku anak semata wayang yang seharusnya menjadi tulang punggung pengganti ayah. Tapi semua itu tak kuhiraukan. Aku hanya mementingkan kebutuhan dan keperluanku saja. Sedang ibu bekerja membuat makanan untuk para karyawan di sebuah rumah jahit sederhana.

Pada suatu saat ibu datang ke sekolah untuk menjenguk keadaanku. Karena sudah beberapa hari aku tak pulang ke rumah dan tidak tidur di rumah. Karena rumah kumuh itu membuatku muak, membuatku kesempurnaan yang kumiliki manjadi cacat. Akan kuperoleh apapun untuk menggapai sebuah kesempurnaan itu.


Tepat di saat istirahat, Kulihat sosok wanita tua di pintu sekolah. Bajunya pun bersahaja rapih dan sopan. Itulah ibu ku yang mempunyai mata satu. Dan yang selalu membuat aku malu dan yang lebih memalukan lagi Ibu memanggilku. “Mau ngapain ibu ke sini? Ibu datang hanya untuk mempermalukan aku!” Bentakkan dariku membuat diri ibuku segera bergegas pergi. Dan itulah memang yang kuharapkan. Ibu pun
bergegas keluar dari sekolahku. Karena kehadiranya itu aku benar-benar malu, sangat malu. Sampai beberapa temanku berkata dan menanyakan. “Hai, itu ibumu ya???, Ibumu matanya satu ya?” yang menjadikanku bagai disambar petir mendapat pertanyaan seperti itu.

Beberapa bulan kemudian aku lulus sekolah dan mendapat beasiswa di sebuah sekolah di luar negeri. Aku mendapatkan beasiswa yang ku incar dan kukejar agar aku bisa segera meninggalkan rumah kumuhku dan terutama meninggalkan ibuku yang membuatku malu. Ternyata aku berhasil mendapatkannya. Dengan bangga kubusungkan dada dan aku berangkat pergi tanpa memberi tahu Ibu karena bagiku itu tidak perlu. Aku hidup untuk diriku sendiri. Persetan dengan Ibuku. Seorang yang selalu mnghalangi kemajuanku.

Di Selolah itu, aku menjadi mahasiswa terpopuler karena kepintaran dan ketampananku. Aku telah sukses dan kemudian aku menikah dengan seorang gadis Indonesia dan menetap di Singapura.

Singkat cerita aku menjadi seorang yang sukses, sangat sukses. Tempat tinggalku sangat mewah, aku mempunyai seorang anak laki-laki berusia tiga tahun dan aku sangat menyayanginya. Bahkan aku rela mempertaruhkan nyawaku untuk putraku itu.

10 tahun aku menetap di Singapura, belajar dan membina rumah tangga dengan harmonis dan sama sekali aku tak pernah memikirkan nasib ibuku. Sedikit pun aku tak rindu padanya, aku tak mencemaskannya. Aku BAHAGIA dengan kehidupan ku sekarang.

Tapi pada suatu hari kehidupanku yang sempurna tersebut terusik, saat putraku sedang asyik bermain di depan pintu. Tiba-tiba datang seorang wanita tua renta dan sedikit kumuh menghampirinya. Dan kulihat dia adalah Ibuku, Ibuku datang ke Singapura. Entah untuk apa dan dari mana dia memperoleh ongkosnya. Dia datang menemuiku.

Seketika saja Ibuku ku usir. Dengan enteng aku mengatakan: “HEY, PERGILAH KAU PENGEMIS. KAU MEMBUAT ANAKKU TAKUT!” Dan tanpa membalas perkataan kasarku, Ibu lalu tersenyum, “MAAF, SAYA SALAH ALAMAT”

Tanpa merasa besalah, aku masuk ke dalam rumah.

Beberapa bulan kemudian datanglah sepucuk surat undangan reuni dari sekolah SMA ku. Aku pun datang untuk menghadirinya dan beralasan pada istriku bahwa aku akan dinas ke luar negeri.

Singkat cerita, tibalah aku di kota kelahiranku. Tak lama hanya ingin menghadiri pesta reuni dan sedikit menyombongkan diri yang sudah sukses ini. Berhasil aku membuat seluruh teman-temanku kagum pada diriku yang sekarang ini.

Selesai Reuni entah megapa aku ingin melihat keadaan rumahku sebelum pulang ke Sigapore. Tak tau perasaan apa yang membuatku melangkah untuk melihat rumah kumuh dan wanita tua itu. Sesampainya di depan rumah itu, tak ada perasaan sedih atau bersalah padaku, bahkan aku sendiri sebenarnya jijik melihatnya. Dengan rasa tidak berdosa, aku memasuki rumah itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ku lihat rumah ini begitu berantakan. Aku tak menemukan sosok wanita tua di dalam rumah itu, entahlah dia ke mana, tapi justru aku merasa lega tak bertemu dengannya.

Bergegas aku keluar dan bertemu dengan salah satu tetangga rumahku. “Akhirnya kau datang juga. Ibu mu telah meninggal dunia seminggu yang lalu”

“OH…”

Hanya perkataan itu yang bisa keluar dari mulutku. Sedikit pun tak ada rasa sedih di hatiku yang kurasakan saat mendengar ibuku telah meninggal. “Ini, sebelum meninggal, Ibumu memberikan surat ini untukmu”

Setelah menyerahkan surat ia segera bergegas pergi. Ku buka lembar surat yang sudah kucal itu.

Untuk anakku yang sangat Aku cintai,
Anakku yang kucintai aku tahu kau sangat membenciku. Tapi Ibu senang sekali waktu mendengar kabar bahwa akan ada reuni disekolahmu.
Aku berharap agar aku bisa melihatmu sekali lagi. karena aku yakin kau akan datang ke acara Reuni tersebut.
Sejujurnya ibu sangat merindukanmu, teramat dalam sehingga setiap malam Aku hanya bisa menangis sambil memandangi fotomu satu-satunya yang ibu punya.Ibu tak pernah lupa untuk mendoakan kebahagiaanmu, agar kau bisa sukses dan melihat dunia luas.
Asal kau tau saja anakku tersayang, sejujurnya mata yang kau pakai untuk melihat dunia luas itu salah satunya adalah mataku yang selalu membuatmu malu.
Mataku yang kuberikan padamu waktu kau kecil. Waktu itu kau dan Ayah mu mengalami kecelakaan yang hebat, tetapi Ayahmu meninggal, sedangkan mata kananmu mengalami kebutaan. Aku tak tega anak tersayangku ini hidup dan tumbuh dengan mata yang cacat maka aku berikan satu mataku ini untukmu.
Sekarang aku bangga padamu karena kau bisa meraih apa yang kau inginkan dan cita-citakan.
Dan akupun sangat bahagia bisa melihat dunia luas dengan mataku yang aku berikan untukmu.
Saat aku menulis surat ini, aku masih berharap bisa melihatmu untuk yang terakhir kalinya, Tapi aku rasa itu tidak mungkin, karena aku yakin maut sudah di depan mataku.
Peluk cium dari Ibumu tercinta

Bak petir di siang bolong yang menghantam seluruh saraf-sarafku, Aku terdiam! Baru kusadari bahwa yang membuatku malu sebenarnya bukan ibuku, tetapi diriku sendiri....

Cerita Sedih - Rembulan Ini Untukmu, Sayang



Adisty Adelia nama ku, seorang mahasiswi semester 6 jurusan akuntansi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Beberapa tahun ini aku sedang dekat dengan seorang pria yang sangat aku cintai, Ahmad Qasam Amrul Haq namanya. Mahasiswa tingkat akhir jurusan sastra arab di kampus Negri Perguruan tinggi Jakarta pula.

Kedekatan kami bukan dalam hubungan pacaran, emmm ta'aruf pun bukan. Namun aku tau, kami memiliki hubungan yang tak biasa. Tak sekedar teman ataupun rekanan mahasiswa. Entahlah, mungkin bisa dikatakan hubungan tanpa status. Yang aku tau, aku menyukainya dan ia pun sama, ya kurasa Ia menyukaiku.

Mulanya, kami tak sengaja bertemu di sebuah seminar umum yang mengkaji mengenai Belajar Sastra dan Bahasa arab Alqur'an di salah satu perguruan tinggi ilmu qur'an ternama di Jakarta. Meski aku bukan mahasiswi yang bergelut didunia sastra, namun aku selalu tertarik untuk belajar dan mengkajinya. Bagiku, ini adalah suatu hal yang sangat menyenangkan. Aku selalu kagum dengan semua orang yang bergelut didunia ini. Menurutku mereka keren!. Karna aku tau, bukan suatu hal yang mudah untuk menguasainya, sastra arab. Pikirku, aku ingin menjadi bagian diantara orang-orang keren itu. hihiiiiii.

Saat berlangsungnya seminar itu aku sangat menikmati kajian materinya, sangat bagus dan berbobot. Sampai pada saat dimulainya sesi tanya jawab, seorang mahasiswa berkacamata melontarkan sebuah pertanyaan dengan lugas. "Degggggggh..." tiba-tiba saja, entah kenapa seperti ada yang menghujam jantungku. Bukan karna fisiknya atau kacamata yang ia gunakan saat itu, tapi karna lontaran pertanyaan dan tentu saja karna bahasa arab yang ia gunakan adalah bahasa arab urdu yang tak biasa. Sangat keren bagiku. Sampai seusai seminar umum itu aku nekat untuk berkenalan dengannya dengan dalih ingin belajar bahasa arab urdu itu dengannya. Ah itu tak hanya sekedar dalih, namun aku benar-benar ingin menguasainnya. Tentu saja salah satu cara untuk aku bisa menguasainya adalah dengan menjadikan dia sebagai guruku.^^

Dari peristiwa itu, aku dan dia mulai menjadi partner belajar bahasa arab, seminggu sekali kami kami selalu meluangkan waktu itu itu. Dan tak hanya belajar tentang itu, kami juga sering membahas ilmu-ilmu lainnya, ilmu apa saja. Kegiatan ini berlangsung cukup lama, hampir 2 tahun kurasa. Hingga hubungan kami berubah status menjadi hubungan yang tak biasa. Dalam suka-duka, ia lah orang pertama yang ingin aku temui. Dia pun sama, teman-teman kami, bahkan keluarga kami pun sudah saling mengenal. Ya, bisa kupastikan kami memiliki hubungan yang tak biasa.

Pacaran, sempat kata itu menjadi perbincangan hangat dan membahagiakan saat itu untuk kami. Namun, kami tak lakukan itu. Karna baik aku maupun dia sudah sama-sama mengerti tentang keharaman hubungan itu. Lalu hubungan kami?? ya aku tau, bahwa hubungan kami tak bedanya dengan hubungan terlarang itu, hanya status namanya saja lah yang berbeda.

Tapi dapat kami tegaskan, kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilakukan orang-orang berpacaran lainnya. Kami tau batasan-batasan dalam bergaul. Kami tak pernah sekalipun berpegang tangan, pertemuan kami pun selalu ditempat-tempat ramai. Entahlah, aku dapat memastikan hal-hal itu kecuali satu hal. Hati kami. Meski kami saling suka, namun kami tetap menjaga rasa. Pikirku saat itu. Kami saling berkata, bahwa saat indah nanti kelak kita akan bersama. Hanya tak sekarang, dan untuk saat itu biarkan hubungan kami berjalan seperti sekarang. Akupun menyutujuinya, karna jujur aku tak sanggup berpisah darinya. Aku telah benar-benar mencintainya.

Lambat laun, hubungan kami semakin manis.. bukan karna kami semakin dekat. Bukan. Sama sekali bukan. Justru karna kami telah berpisah. Ya kami berpisah. Benar-benar berpisah. Dan status hubungan kami pun menjadi jelas. Tanpa status apapun. Aku katakan ini manis, memang bagi kami ini adalah hubungan yang manis. Ah sangat manis sepertinya.^^

Setahun belakangan kemarin sebelum kami berpisah, kami aktif untuk menghadiri seminar-seminar umum diberbagai perguruan tinggi. Tentu saja aku melakukannya bersama dia, Ahmad Qasam orang yang ku cintai. Kecintaan kami terhadap sastra melebar ke ilmu-ilmu lainnya, salah satunya adalah fikih. Entah mengapa sejak kami mengikuti berbagai seminar yang membahas tentang kajian fikih, membuat kami sangat tertarik untuk mengkaji mengenai kajian fikih itu lebih dalam dan dalam lagi. Kami berdua seperti terhipnotis dibuatnya. Mungkin karna dalam kitab fikih menggunakan bahasa arab yang membuat kami lebih bersemangat.

Hingga sampai suatu hari, kami menyadari bahwa ada yang salah dengan hubungan kami. Dalam kitab fikih itu dijelaskan dengan jelas tentang bagaimana seharusnya pria dan wanita yang bukan mahrom berhubungan. Dalil-dalinya pun dengan jelas tertera disana. Saat itu kami diam dan hanya saling menatap. Benar-benar menjadi perenungan panjang buat kami. Hingga tak lama, aku meneteskan air mata. Dalam diam, berjuta pertanyaan berkecamuk didada.

"Salahkah hubungan ini?? lalu apa harus kuakhiri, tapi aku sangat mencintainya... sungguh. Aku harus bagaimana?? tapi bila lanjut, aku tau ini dilarang oleh agama. Hubungan kami.. salah! tapi aku mencin..." Aku tak sanggup melanjutkan lirihan dalam hatiku. Aku semakin terisak. Tangan ku bergemetar. Kepalaku pening. Aku berharap saat itu aku pingsan saja, namun ternyata tidak. Aku ingin bergumam, namun bibirku kelu. Seperti terisolasi ribuan lakban. Lalu tiba-tiba saja,tangan Ahmad orang yg aku cintai hendak menyentuh tanganku namun ia urungkan.

"Kita... sudahi saja semuanya." Ahmad berkata secara tertatih. Tak lugas seperti biasanya. Nampaknya, saat itu ia pun seperti tak rela melepasku. Aku menghela nafas panjang. Ku kuat kan azzamku. Dan aku menyetujuinya.

Saat itu, tak ada kata-kata perpisahan ataupun kata-kata mesra lain yang terucap. Hanya sebuah senyuman dengan air mata terbendung yang terlihat. Dan kami pun berpisah. Entah kenapa, setelah aku memutuskan hubungan ini, aku merasa seperti melepaskan beban berat di pundakku. Sedih. Tentu saja aku sedih. Orang mana yang tidak sedih bila harus berpisah dengan orang yang dicintainya. Meski pedih namun inilah jalan yang harus aku dan dia lalui. Berjalan sesuai syariat-NYA. Itu mutlak harus dilakukan dan tidak ada tawar menawar. Karna itulah yang terbaik untuk kami. Meski hubungan kami bukanlah pacaran, namun kami sadar intensitas pertemuan kami sudah selayaknya insan yang berpacaran.

Setelah kejadian itu, aku mulai belajar serius tentang bidang-bidang ilmu agama lainnya. Aku pun mulai melebarkan kerudungku, melonggarkan pakaianku, dan benar-benar menjaga muruah serta izzahku. Sebenarnya aku sudah berhijab lama sebelum aku mengenal Ahmad Qasam, namun belum sesyar'i saat ini ku rasa. Masih terbawa trendi arus zaman. Dikampus, aku pun mulai mengikuti kajian-kajian islami rutin. Menambah wawasan pikirku.

Delapan bulan berlalu, aku benar-benar merasa menjadi pribadi yang berbeda. Dan Ahmad, aku tidak tau sedikitpun tentangnya. Sempat terbesit untuk menghubunginya, namun aku urungkan. Ya aku paksa urungkan. Biarlah Allaah yang mengatur segalanya. Aku benar-benar berpasrah diri. Bila rindu akannya meraja, aku hanya bisa berdoa pada-NYA di jannah IA pertemukan kami kembali. Pintaku sesederhana itu.

Mengawali awal semester 8, saat itu usiaku 22 tahun. Aku disibukkan oleh segudang kegiatan untuk mempersiapkan skripsi ku. Sampai suatu hari ibu ku tiba-tiba memintaku untuk menikah. Usiaku sudah cukup katanya. Tentu saja aku menolaknya, dengan alasan aku ingin fokus pada skripsiku. Ibu pun memakluminya.

Hari berganti hari, hingga akhirnya usailah masa kuliahku. Aku diwisuda. Beribu ucap syukur yang ada kala itu. "Alhamdulillah.." Ujarku saat itu. Ucapan selamat pun berdatangan kerumahku. Aku benar-benar bersyukur. Hanya saja, tiba-tiba wajah Ahmad melintas dibenakku. Dia tersenyum dan mengucapkan ucapan selamat padaku dengan manisnya. "Astaghfirullaah! Mikir apa aku ini." Aku beristighfar dan menepis angan-angan kosong itu.

Kini aku bekerja di salah satu lembaga zakat indonesia, aku bahagia bekerja disana. Dikelilingi teman-teman sekantor yang seakidah dan yang terpenting waktu sholat kami di berikan waktu yang cukup lama, jadi kami tidak tergesa-gesa. Berbeda jika aku bekerja dikantoran.

Ditempat ini, aku memiliki sahabat karib. Kami memang baru beberapa minggu saja bertemu, namun kami telah akrab. Namanya Hafla Naura Salsabila. Namun, aku biasa memanggilnya dengan Bulan. Panggilan kesayanganku untuknya. Aku memanggilnya bulan karna dia selalu melakukan banyak aktivitas di malam hari, mulai dari bertahajud, menghafal, membaca alqur'an, bahkan hampir setiap malam dia mendengar semua keluh kesahku. Ya, kami sekamar, semenjak bekerja aku memutuskan untuk mencari kontrakan. Agar mandiri tekadku.

Hafla, dia benar-benar seperti rembulan buatku. Hadir dimalam hari dan menerangiku dengan ilmu-ilmu dinnya. Karnanya, aku pun menjadi seperti bulan juga. Ah tidak, mungkin aku hanya menjadi bintangnya saja, yang selalu mengiri keindahan bulan dimalam hari. Aku benar-benar menyanginya. Alhamdulillaah.

Tahun ini, aku mendapat kabar kejutan dari orangtuaku. Aku diajak ta'aruf. Aku ingin menolaknya, namun aku tak kuasa. Bapak bilang ia adalah seorang yang berpendidikan dan yang terpenting dia sholih, insyaallaah. Mendengar kata sholih, akhwat mana yang tak bergembira. Aku pun sama, bergembira. Bersyukur. Awalnya aku sempat ragu, namun setelah istikharah. Akupun mantap untuk menyetujuinya.

Hari untuk nadzar kami pun telah ditentukan. Sabtu ini dirumah kami, entah karna aku begitu bodohnya atau apa, aku sampai lupa menanyakan nama dari pria tersebut. Mungkin karna aku begitu bahagia mendengar kata sholih. hihihi.^^

Hari nadzor pun tiba, aku menggunakan kerududung dan gamis hijau. Aku berharap berpenampilan cantik tentu saja. Tak lama aku pun dipanggil keluar kamar. Sambil berjalan aku melihat pria bersahaja duduk.

"Ah..mad?" Aku terkejut. "Na'am, ana Ahmad Qasam Amrul Haq." Ahmad menjawab dengan lugas disertai senyum manis diwajah teduhnya.

‎"Subhanallaah..." Aku terkejut, langsung saja ku peluk ibu ku karna bahagianya. Dia, yang duduk disana.. calon suamiku nampak sangat berbeda. Celananya berbeda, tak isybal. Alhamdulillaah. Wajahnya pun berbeda, dia tampak teduh sekarang dengan janggut tipis di dagunya. Alhamdulillaah. Dia lebih alim, arif, dan berilmu. Alhamdulillaah.

Hari walimah kami telah ditentukan, 2 minggu setelah pertemuan nadzor ini. Seminggu sebelum hari walimahku, aku menyempatkan diri untuk ke kontrakan ku untuk mengambil barang-barangku, dan tentu saja untuk bertemu dengan Hafla. Bulanku tercinta. Aku kesana untuk mengantarkan undangan special, harus datang paksa ku saat itu. Saat itu memang sedikit gelap;mendung. Namun tak sampai hujan. Dijalan, entah apa yang ku rasa. Sepertinya aku merasa pusing. Mungkin karna aku terlalu lelah menyiapkan walimahku.

Tepat pukul 13.00 aku sampai di sebrang kontrakanku, ketika aku hendak melangkah tiba-tiba aku merasa pusing. Aku berjalan perlahan, tapi tiba-tiba saja tubuhku tertabrak sesuatu. Lalu gelap. Sesadarnya, aku berada dirumah sakit.

Kepalaku sakit. Ibu menangis, Bapak juga. Aku tak mengerti. Ahmad. Ah ya, dia juga ada diruangan ini. Ahmad Qassam, calon suami tercintaku. Dia menangis juga. Ada apa. Kenapa semua menangis. Aku tak mengerti. Mulutku kelu. Kata ibu, sudah 3 hari aku koma. Saat itu aku tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi.

4 Hari sebelum pernikahanku, aku masih berbaring dirumah sakit. Kaki ku patah. Entah apa yang akan terjadi pada walimahku, dalam 4 hari tak mungkinkan aku bisa sembuh total. Aku hanya pasrah.

Sore itu, Ahmad datang menjenguk. Nampak wajah khawatir di guratan senyumnya. Aku katakan aku baik-baik saja, dan dia pun hanya mengangguk. Mungkin dia tau bahwa aku sedang berbohong.

"walimah kita bagaimana?" tanya ku penuh tanya. "Akan ditunda sampai kau benar-benar sehat." jawabnya lugas. Aku bahagia meski sungkan. Aku meminta maaf, sungguh karna ku semua jadi tertunda. Dia hanya tersenyum. Manis.

Tiba-tiba ada yang datang mengetuk pintu. Hafla, dia pun meminta izin untuk masuk. Dan aku pun mempersilakannya. Hafla berlari kearahku sambil menangis. Aku hanya tertawa. Aku katakan aku baik-baik saja. Lalu ku kenal kan ia pada Ahmad, calon suamiku. "Bulan, ini Ahmad calon suamiku. Dan Ahmad, ini Bulan eh Hafla teman karibku." Ucapku memperkenalkan mereka berdua. Mereka hanya tersenyum. Aneh pikirku. Dan saat itu juga, Ahmad pamit.

Entah kenapa, saat itu aku melihat bulan tercinta ku murung. Apa karna aku yang sedang sakit? Aku rasa tidak. Tapi lalu aku abaikan. Karna mungkin hanya praduga ku saja. Tak lama, Hafla mendapat telfon lalu pamit dengan buru-buru. Tas laptop nya tertinggal. Aku memanggilnya namun ia tak mendengar.

Karna berhari-hari dirumah sakit, dan merasa jenuh. Aku memutuskan untuk meminjam laptop Bulan ku. Aku biasa bertukar laptop sewaktu dikontrakan dulu. Jadi tidak apa-apa ku pikir untuk menggunakannya. Aku membukanya, namun aku menemukan sebuah blog yang belum di log-out. Aku membacanya. Aku pikir ini adalah karya tulisnya yang sedang ia persiapkan untuk salah satu majalah islami. Hafla adalah penulis lepas. Aku mulai membacanya. Ternyata aku salah. Ini adalah curahan hatinya. Aku tau, tak seharusnya ku baca ini. Namun aku bosan, jadi aku tetap membacanya.

Aku kagum dengan tulisan-tulisanya. Menarik. Tapi... tiba-tiba aku shock ketika menemukan note 8 bulan yang lalu. Bukan karna tulisannya yang mengagumkan. Namun karna aku temukan nama Ahmad Qasam disana. Aku membaca goretan noktahnya dengan hati luka tersayat. Mereka.. ternyata mereka telah saling kenal. Bukan hanya itu. Di masa silam, mereka pernah berta'aruf dan hampir menikah pula. Namun karna orang tua Hafla ditahun itu telah mendaftar umrah, mereka pun memutuskan untuk menundanya. Hafla terus menanti hari dimana mereka berdua akan bersatu. Sampai tiba-tiba saja Ahmad dipindah tugas kan ke luar kota lalu menghilang tanpa kabar. Tapi Hafla tetap menunggunya, karna ia yakin Ahmad akan kembali, dan karna.. Aku menangis membacanya, karna Hafla terlanjur mencintainya.

Seketika aku menutup laptopnya, dan lagi-lagi aku merasa gelap. Aku pingsan lagi. Kata ibuku saat itu. Ketika sadar, aku langsung menggenggam tangan ibuku. Lalu aku mengambil keputusan terberat dan memilukan untuk ku. Aku memutuskan untuk memutuskan hubungan ku dengan Ahmad, aku sama sekali tak menceritakan kejadian sebenarnya pada ibu ku. Aku tak ingin melihatnya kecewa. Aku juga tak ingin untuk yang kedua kalinya berpisah dengan Ahmad, namun aku pun tak kuasa melukai hati karibku, Bulan. Dia terlalu baik untuk disakiti. Aku memaksa diriku ikhlas.

2 hari lagi hari walimah kami, pagi itu aku mengajak Ahmad bicara empat mata serius. Aku menuntut cerita darinya. Cerita tentang ia dan Hafla. Awalnya ia tak mengakui hubungan nya dengan Hafla, karna memang ia tak ingin melukai hatiku. Katanya, antara Hafla dan dirinya sudah tak memiliki hubungan apa-apa lagi. Ta'aruf mereka telah lama usai, sampai sekarang dia menemukan kabar tentangku. Katanya, ia masih menyukaiku hingga sekarang. Namun tetap saja, aku tak ingin Hafla menangis terluka. Saat itu aku bingung. Aku memaksanya untuk memutuskan hubungan ini. Namun ia menolak. Saat itu juga Hafla datang, ia bingung mengapa aku menangis sedemikian rupa.

Aku mengajaknya duduk bersama kami. Sebelum aku bicara lanjut, aku meminta maaf padanya karna telah lancang membuka laptop serta menbaca curahan hatinya. Lalu aku ceritakan semua benakku padanya, tentang rasa bersalahku padanya, tentang kebingunganku, tentang semuanya. Seketika Hafla menangis, ia memohon agar aku tak membatalkan pernikahan yang tinggal 2 hari itu. Aku katakan padanya, aku tak mungkin menikah dengan keadaan kaki ku masih patah seperti ini. Lalu aku meminta Hafla untuk menggantikanku. Entah ungkapan bodoh apa itu. Itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku menangis tersedu. Aku tak tau harus berbuat apa. Bila aku bisa berlari, ingin aku berlari ke manapun aku bisa. Namun aku tak bisa. Aku meninggalkan mereka berdua untuk bicara. Aku tak tau harus berbuat apa. Apapun keputusan mereka. Aku akan menerimanya.

Tak lama mereka berdua menemuiku, mereka telah memutuskan agar aku melanjutkan pernikahanku, bahkan pernikahannya pun diurungkan untuk ditunda. Pernikahan akan tetap dilaksanakan apapun keadaan ku. Aku pun menerimanya meski dengan hati tersayat. Namun aku tak peduli, aku berusaha untuk mengapatiskan diri, aku telah memberikan pilihan untuk mereka sebelumnya. Dan mereka pun telah memilihnya. Mereka harus menerima apapun konsekuensnya, pikirku.

Pernikahan kami pun berlangsung sederhana, dengan kaki ku masih ter-gif. Aku melihat Hafla hadir dipernikahanku, ia cukup tegar rupanya. Mungkin aku tak akan hadir bila menjadi dia. Aku takan sanggup melihat orang yang ku cintai bersanding dengan wanita yang lain. Namun bukan Hafla jika bersikap demikian, tegasku.

Dimalam pernikahan kami, aku banyak mendengarkan cerita darinya. Aku pun menceritakan banyak hal padanya. Kami terus saja tertawa bahagia malam itu. Saat itu mungkin aku merasa menjadi wanita paling kejam sedunia. Karna aku bahagia diatas penderitaan teman karibku. Namun aku tepiskan itu, karna aku yakin temanku akan jauh menderita bila aku bersedih atasnya.

Saat ini, aku dan Ahmad Qasam telah menjadi pasangan sah. Banyak hal yang bisa kami lakukan bersama dengan leluasa tentunya. Dan meski kami telah menikah, kami masih sering mengikuti seminar-seminar umum diantara kesibukan kami. Itu mengingatkan kami pada masa dahulu. Aku hanya bisa tersenyum.

Di lima bulan pernikahan kami, aku mengandung anak pertama kami. Usianya baru 1 minggu, alhamdulillah keluarga kami bertambah bahagianya. Ahmad suami tercinta ku benar-benar memanjakan ku. Aku berhenti bekerja saat datang kehamilanku ini. Tak boleh terlalu lelah kata Ahmad, dan aku pun menurut. Sampai suatu malam, aku memimpikan Bulan ku. Dia terlihat sangat pucat dan lesu. Keesokannya ketika aku bangun, aku ceritakan hal itu pada suamiku. Aku mulai mengkhwatirkan Hafla. Setelah pernikahan kami, Hafla memutuskan untuk pindah ke luar kota. Namun ia tak katakan kemana. Ahmad bilang itu hanya sebuah mimpi, dan menyuruhku untuk tak khawatir. Namun aku tak bisa. Aku mulai mencari info tentang keberadaan Hafla. Dan aku mendapatkan alamatnya. Saat itu juga, aku dan Ahmad pergi menemuinya.

Benar saja, ternyata keadaan Hafla tidak baik. Ia terlihat pucat sekali. Dan kurus. Aku menangis melihatnya.

"Kau kenapa hafla??" Tanyaku sambil menangis dipeluknya.
"Aku baik-baik saja kok." Jawab Hafla singkat.

Aku tak percaya begitu saja. Aku tanyakan keadaan Hafla pada ibunya. Ibunya mengatakan, bahwa akhir-akhir ini ia berusaha keras melupakan Ahmad dengan melakukan banyak ibadah. Sampai terkadang ia tidak tidur. Aku menangis menangis tersedu mendengarnya.

Malamnya kami pamit pulang. Tak sepatah katapun keluar bibir kami, aku dan suamiku. Sekarang, suamiku yang terlihat khawatir. Aku melihatnya benar-benar mengkhwatirkan Hafla.

Dalam tahajudku malam ini, aku mencurahkan semuanya pada Allah. Hingga aku tertidur pulas di atas sajadahku.

Esok paginya, aku melihat suamiku murung. Aku tanyakan mengapa dan ia katakan tidak ada apa-apa. Aku bingung. Semenjak kami bertemu Hafla, sikapnya berubah dingin padaku. Aku tak ambil pusing awalnya, karna ku fikir mungkin ini hanya sementara. Tapi ternyata perkiraanku salah. Sudah beberapa minggu ia dingin padaku. Aku bertanya padanya, apakah aku melakukan salah kepadanya. Namun ia katakan tak ada. Aku semakin bingung dibuatnya. Aku sedih.

Lalu aku teringat Hafla, apa semua ini karna dia. Apa sekarang Ahmad menyesal menikahiku. Aku mengajak Ahmad bicara serius, tapi kami malah bertengkar. Ahmad bilang ia tak ingin diganggu saat ini. Sampai aku mendengar hal-hal yang tak ingin aku dengar. Ahmad, meminta ku untuk berpisah dengannya. Aku kaget, aku terkejut. Mengapa ia setega itu. Aku tanya apakah ini karna Hafla. Dan ia katakan ya. Aku langsung jatuh pingsan saat itu.

Perutku sakit sekali, ah tidak. Ini tak sesakit hatiku. Ahmad datang dan meminta maaf padaku, ia berjanji takan melakukan hal ini lagi padaku. Ia menangis, ia katakan ia hanya terbawa emosi. Dan tentang Hafla, ia hanya merasa bersalah padanya karna ia menjadi seperti itu karna dia, karna suamiku. Aku tersenyum dan memaafkannya. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika aku berada diposisinya. Ahmad menggenggam tanganku erat. Kini aku merasakan kehangatannya kembali. Aku hanya bisa menangis bahagia.

Tapi tiba-tiba perut ku sakit lagi. Sakit sekali. Ahmad panik, ia lalu keluar memanggil dokter. Dokter datang dan langsung memeriksaku. Kata dokter aku keguguran. Seketika aku menjerit, aku menangis. Anakku. Dia telah pergi. Aku sedih, namun Ahmad lebih sedih. Katanya semua ini katanya. Aku semakin sedih dibuatnya. Aku katakan tak apa. Karna semua ini milik-NYA. Aku mencoba tegar.

Satu minggu kemudian aku keluar dari rumah sakit. Aku sudah baik-baik saja alhamdulillah. Malamnya aku duduk berdua disudut kamar bersama Ahmad, kami bersenda gurau. Lalu aku bicara serius. Bagaimana kalau Ahmad menikahi Hafla. Ahmad terkejut. Aku katakan bahwa aku serius tak bercanda. Ahmad menolaknya.

Aku terus saja membujuknya. Aku tau ini bukanlah hal yang mudah, dan sangat tak masuk akal ada istri meminta untuk di madu. Aku tau ini akan menyakitkan untukku, namun aku yakin suamiku mampu berlaku adil. Suamiku marah padaku, ia katakan bahwa ia takan pernah melakukan hal semacam itu. Tapi aku tak menyerah. Aku katakan aku mencintainya, akupun yakin bahwa ia pun mencintaiku. Tapi Hafla, aku benar-benar khawatir padanya, aku tak bisa bahagia diatas penderitaanya. Aku pun melihat satu hal dari mata suamiku. Aku melihat Ahmad merindukan hadirnya Hafla.

Malam itu aku terus saja membujuknya, aku katakan bahwa aku menginginkan syurga atas hal ini. Suamiku menangis dan mendekapku erat, lalu ia katakan bahwa ia akan melakukannya. Aku bahagia mendengarnya. Dalam tahajudku, aku menangis, mengadu pada-NYA. Bahwa sungguh hatiku sakit. Meski aku yang meminta perihal ini, namun aku tak kuasa menahan pedihnya. Berbagi suami. Hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Namun aku mencoba ikhlas. Aku bahagia. Ya aku harus bahagia. Ah tidak. Kami bertiga harus bahagia.

Dihari pernikahan mereka, aku hanya mampu menahan haru dari balik tirai. Aku cemburu melihat mereka berdua tersenyum hangat. Air mataku terjatuh. Meski cemburu, namun aku bahagia.

Dimalam pernikahan mereka, aku menyiapkan segala-galanya. Kamar pengantin ku hias sedemikian indahnya. Lalu mereka berdua datang, lantas memelukku. Aku bahagia memiliki kalian, aku katakan padanya. Lalu Ahmad menggenggam erat tanganku dan mengatakan bahwa ia mencintaiku. Aku tersenyum bahagia mendengarnya. Lalu aku bisikan di telinga Ahmad, suami yang aku sangat cintai.. bahwa rembulan ini untukmu, sayang.

Cerita Sedih - Rembulan Ini Untukmu, Sayang



Adisty Adelia nama ku, seorang mahasiswi semester 6 jurusan akuntansi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Beberapa tahun ini aku sedang dekat dengan seorang pria yang sangat aku cintai, Ahmad Qasam Amrul Haq namanya. Mahasiswa tingkat akhir jurusan sastra arab di kampus Negri Perguruan tinggi Jakarta pula.

Kedekatan kami bukan dalam hubungan pacaran, emmm ta'aruf pun bukan. Namun aku tau, kami memiliki hubungan yang tak biasa. Tak sekedar teman ataupun rekanan mahasiswa. Entahlah, mungkin bisa dikatakan hubungan tanpa status. Yang aku tau, aku menyukainya dan ia pun sama, ya kurasa Ia menyukaiku.

Mulanya, kami tak sengaja bertemu di sebuah seminar umum yang mengkaji mengenai Belajar Sastra dan Bahasa arab Alqur'an di salah satu perguruan tinggi ilmu qur'an ternama di Jakarta. Meski aku bukan mahasiswi yang bergelut didunia sastra, namun aku selalu tertarik untuk belajar dan mengkajinya. Bagiku, ini adalah suatu hal yang sangat menyenangkan. Aku selalu kagum dengan semua orang yang bergelut didunia ini. Menurutku mereka keren!. Karna aku tau, bukan suatu hal yang mudah untuk menguasainya, sastra arab. Pikirku, aku ingin menjadi bagian diantara orang-orang keren itu. hihiiiiii.

Saat berlangsungnya seminar itu aku sangat menikmati kajian materinya, sangat bagus dan berbobot. Sampai pada saat dimulainya sesi tanya jawab, seorang mahasiswa berkacamata melontarkan sebuah pertanyaan dengan lugas. "Degggggggh..." tiba-tiba saja, entah kenapa seperti ada yang menghujam jantungku. Bukan karna fisiknya atau kacamata yang ia gunakan saat itu, tapi karna lontaran pertanyaan dan tentu saja karna bahasa arab yang ia gunakan adalah bahasa arab urdu yang tak biasa. Sangat keren bagiku. Sampai seusai seminar umum itu aku nekat untuk berkenalan dengannya dengan dalih ingin belajar bahasa arab urdu itu dengannya. Ah itu tak hanya sekedar dalih, namun aku benar-benar ingin menguasainnya. Tentu saja salah satu cara untuk aku bisa menguasainya adalah dengan menjadikan dia sebagai guruku.^^

Dari peristiwa itu, aku dan dia mulai menjadi partner belajar bahasa arab, seminggu sekali kami kami selalu meluangkan waktu itu itu. Dan tak hanya belajar tentang itu, kami juga sering membahas ilmu-ilmu lainnya, ilmu apa saja. Kegiatan ini berlangsung cukup lama, hampir 2 tahun kurasa. Hingga hubungan kami berubah status menjadi hubungan yang tak biasa. Dalam suka-duka, ia lah orang pertama yang ingin aku temui. Dia pun sama, teman-teman kami, bahkan keluarga kami pun sudah saling mengenal. Ya, bisa kupastikan kami memiliki hubungan yang tak biasa.

Pacaran, sempat kata itu menjadi perbincangan hangat dan membahagiakan saat itu untuk kami. Namun, kami tak lakukan itu. Karna baik aku maupun dia sudah sama-sama mengerti tentang keharaman hubungan itu. Lalu hubungan kami?? ya aku tau, bahwa hubungan kami tak bedanya dengan hubungan terlarang itu, hanya status namanya saja lah yang berbeda.

Tapi dapat kami tegaskan, kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilakukan orang-orang berpacaran lainnya. Kami tau batasan-batasan dalam bergaul. Kami tak pernah sekalipun berpegang tangan, pertemuan kami pun selalu ditempat-tempat ramai. Entahlah, aku dapat memastikan hal-hal itu kecuali satu hal. Hati kami. Meski kami saling suka, namun kami tetap menjaga rasa. Pikirku saat itu. Kami saling berkata, bahwa saat indah nanti kelak kita akan bersama. Hanya tak sekarang, dan untuk saat itu biarkan hubungan kami berjalan seperti sekarang. Akupun menyutujuinya, karna jujur aku tak sanggup berpisah darinya. Aku telah benar-benar mencintainya.

Lambat laun, hubungan kami semakin manis.. bukan karna kami semakin dekat. Bukan. Sama sekali bukan. Justru karna kami telah berpisah. Ya kami berpisah. Benar-benar berpisah. Dan status hubungan kami pun menjadi jelas. Tanpa status apapun. Aku katakan ini manis, memang bagi kami ini adalah hubungan yang manis. Ah sangat manis sepertinya.^^

Setahun belakangan kemarin sebelum kami berpisah, kami aktif untuk menghadiri seminar-seminar umum diberbagai perguruan tinggi. Tentu saja aku melakukannya bersama dia, Ahmad Qasam orang yang ku cintai. Kecintaan kami terhadap sastra melebar ke ilmu-ilmu lainnya, salah satunya adalah fikih. Entah mengapa sejak kami mengikuti berbagai seminar yang membahas tentang kajian fikih, membuat kami sangat tertarik untuk mengkaji mengenai kajian fikih itu lebih dalam dan dalam lagi. Kami berdua seperti terhipnotis dibuatnya. Mungkin karna dalam kitab fikih menggunakan bahasa arab yang membuat kami lebih bersemangat.

Hingga sampai suatu hari, kami menyadari bahwa ada yang salah dengan hubungan kami. Dalam kitab fikih itu dijelaskan dengan jelas tentang bagaimana seharusnya pria dan wanita yang bukan mahrom berhubungan. Dalil-dalinya pun dengan jelas tertera disana. Saat itu kami diam dan hanya saling menatap. Benar-benar menjadi perenungan panjang buat kami. Hingga tak lama, aku meneteskan air mata. Dalam diam, berjuta pertanyaan berkecamuk didada.

"Salahkah hubungan ini?? lalu apa harus kuakhiri, tapi aku sangat mencintainya... sungguh. Aku harus bagaimana?? tapi bila lanjut, aku tau ini dilarang oleh agama. Hubungan kami.. salah! tapi aku mencin..." Aku tak sanggup melanjutkan lirihan dalam hatiku. Aku semakin terisak. Tangan ku bergemetar. Kepalaku pening. Aku berharap saat itu aku pingsan saja, namun ternyata tidak. Aku ingin bergumam, namun bibirku kelu. Seperti terisolasi ribuan lakban. Lalu tiba-tiba saja,tangan Ahmad orang yg aku cintai hendak menyentuh tanganku namun ia urungkan.

"Kita... sudahi saja semuanya." Ahmad berkata secara tertatih. Tak lugas seperti biasanya. Nampaknya, saat itu ia pun seperti tak rela melepasku. Aku menghela nafas panjang. Ku kuat kan azzamku. Dan aku menyetujuinya.

Saat itu, tak ada kata-kata perpisahan ataupun kata-kata mesra lain yang terucap. Hanya sebuah senyuman dengan air mata terbendung yang terlihat. Dan kami pun berpisah. Entah kenapa, setelah aku memutuskan hubungan ini, aku merasa seperti melepaskan beban berat di pundakku. Sedih. Tentu saja aku sedih. Orang mana yang tidak sedih bila harus berpisah dengan orang yang dicintainya. Meski pedih namun inilah jalan yang harus aku dan dia lalui. Berjalan sesuai syariat-NYA. Itu mutlak harus dilakukan dan tidak ada tawar menawar. Karna itulah yang terbaik untuk kami. Meski hubungan kami bukanlah pacaran, namun kami sadar intensitas pertemuan kami sudah selayaknya insan yang berpacaran.

Setelah kejadian itu, aku mulai belajar serius tentang bidang-bidang ilmu agama lainnya. Aku pun mulai melebarkan kerudungku, melonggarkan pakaianku, dan benar-benar menjaga muruah serta izzahku. Sebenarnya aku sudah berhijab lama sebelum aku mengenal Ahmad Qasam, namun belum sesyar'i saat ini ku rasa. Masih terbawa trendi arus zaman. Dikampus, aku pun mulai mengikuti kajian-kajian islami rutin. Menambah wawasan pikirku.

Delapan bulan berlalu, aku benar-benar merasa menjadi pribadi yang berbeda. Dan Ahmad, aku tidak tau sedikitpun tentangnya. Sempat terbesit untuk menghubunginya, namun aku urungkan. Ya aku paksa urungkan. Biarlah Allaah yang mengatur segalanya. Aku benar-benar berpasrah diri. Bila rindu akannya meraja, aku hanya bisa berdoa pada-NYA di jannah IA pertemukan kami kembali. Pintaku sesederhana itu.

Mengawali awal semester 8, saat itu usiaku 22 tahun. Aku disibukkan oleh segudang kegiatan untuk mempersiapkan skripsi ku. Sampai suatu hari ibu ku tiba-tiba memintaku untuk menikah. Usiaku sudah cukup katanya. Tentu saja aku menolaknya, dengan alasan aku ingin fokus pada skripsiku. Ibu pun memakluminya.

Hari berganti hari, hingga akhirnya usailah masa kuliahku. Aku diwisuda. Beribu ucap syukur yang ada kala itu. "Alhamdulillah.." Ujarku saat itu. Ucapan selamat pun berdatangan kerumahku. Aku benar-benar bersyukur. Hanya saja, tiba-tiba wajah Ahmad melintas dibenakku. Dia tersenyum dan mengucapkan ucapan selamat padaku dengan manisnya. "Astaghfirullaah! Mikir apa aku ini." Aku beristighfar dan menepis angan-angan kosong itu.

Kini aku bekerja di salah satu lembaga zakat indonesia, aku bahagia bekerja disana. Dikelilingi teman-teman sekantor yang seakidah dan yang terpenting waktu sholat kami di berikan waktu yang cukup lama, jadi kami tidak tergesa-gesa. Berbeda jika aku bekerja dikantoran.

Ditempat ini, aku memiliki sahabat karib. Kami memang baru beberapa minggu saja bertemu, namun kami telah akrab. Namanya Hafla Naura Salsabila. Namun, aku biasa memanggilnya dengan Bulan. Panggilan kesayanganku untuknya. Aku memanggilnya bulan karna dia selalu melakukan banyak aktivitas di malam hari, mulai dari bertahajud, menghafal, membaca alqur'an, bahkan hampir setiap malam dia mendengar semua keluh kesahku. Ya, kami sekamar, semenjak bekerja aku memutuskan untuk mencari kontrakan. Agar mandiri tekadku.

Hafla, dia benar-benar seperti rembulan buatku. Hadir dimalam hari dan menerangiku dengan ilmu-ilmu dinnya. Karnanya, aku pun menjadi seperti bulan juga. Ah tidak, mungkin aku hanya menjadi bintangnya saja, yang selalu mengiri keindahan bulan dimalam hari. Aku benar-benar menyanginya. Alhamdulillaah.

Tahun ini, aku mendapat kabar kejutan dari orangtuaku. Aku diajak ta'aruf. Aku ingin menolaknya, namun aku tak kuasa. Bapak bilang ia adalah seorang yang berpendidikan dan yang terpenting dia sholih, insyaallaah. Mendengar kata sholih, akhwat mana yang tak bergembira. Aku pun sama, bergembira. Bersyukur. Awalnya aku sempat ragu, namun setelah istikharah. Akupun mantap untuk menyetujuinya.

Hari untuk nadzar kami pun telah ditentukan. Sabtu ini dirumah kami, entah karna aku begitu bodohnya atau apa, aku sampai lupa menanyakan nama dari pria tersebut. Mungkin karna aku begitu bahagia mendengar kata sholih. hihihi.^^

Hari nadzor pun tiba, aku menggunakan kerududung dan gamis hijau. Aku berharap berpenampilan cantik tentu saja. Tak lama aku pun dipanggil keluar kamar. Sambil berjalan aku melihat pria bersahaja duduk.

"Ah..mad?" Aku terkejut. "Na'am, ana Ahmad Qasam Amrul Haq." Ahmad menjawab dengan lugas disertai senyum manis diwajah teduhnya.

‎"Subhanallaah..." Aku terkejut, langsung saja ku peluk ibu ku karna bahagianya. Dia, yang duduk disana.. calon suamiku nampak sangat berbeda. Celananya berbeda, tak isybal. Alhamdulillaah. Wajahnya pun berbeda, dia tampak teduh sekarang dengan janggut tipis di dagunya. Alhamdulillaah. Dia lebih alim, arif, dan berilmu. Alhamdulillaah.

Hari walimah kami telah ditentukan, 2 minggu setelah pertemuan nadzor ini. Seminggu sebelum hari walimahku, aku menyempatkan diri untuk ke kontrakan ku untuk mengambil barang-barangku, dan tentu saja untuk bertemu dengan Hafla. Bulanku tercinta. Aku kesana untuk mengantarkan undangan special, harus datang paksa ku saat itu. Saat itu memang sedikit gelap;mendung. Namun tak sampai hujan. Dijalan, entah apa yang ku rasa. Sepertinya aku merasa pusing. Mungkin karna aku terlalu lelah menyiapkan walimahku.

Tepat pukul 13.00 aku sampai di sebrang kontrakanku, ketika aku hendak melangkah tiba-tiba aku merasa pusing. Aku berjalan perlahan, tapi tiba-tiba saja tubuhku tertabrak sesuatu. Lalu gelap. Sesadarnya, aku berada dirumah sakit.

Kepalaku sakit. Ibu menangis, Bapak juga. Aku tak mengerti. Ahmad. Ah ya, dia juga ada diruangan ini. Ahmad Qassam, calon suami tercintaku. Dia menangis juga. Ada apa. Kenapa semua menangis. Aku tak mengerti. Mulutku kelu. Kata ibu, sudah 3 hari aku koma. Saat itu aku tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi.

4 Hari sebelum pernikahanku, aku masih berbaring dirumah sakit. Kaki ku patah. Entah apa yang akan terjadi pada walimahku, dalam 4 hari tak mungkinkan aku bisa sembuh total. Aku hanya pasrah.

Sore itu, Ahmad datang menjenguk. Nampak wajah khawatir di guratan senyumnya. Aku katakan aku baik-baik saja, dan dia pun hanya mengangguk. Mungkin dia tau bahwa aku sedang berbohong.

"walimah kita bagaimana?" tanya ku penuh tanya. "Akan ditunda sampai kau benar-benar sehat." jawabnya lugas. Aku bahagia meski sungkan. Aku meminta maaf, sungguh karna ku semua jadi tertunda. Dia hanya tersenyum. Manis.

Tiba-tiba ada yang datang mengetuk pintu. Hafla, dia pun meminta izin untuk masuk. Dan aku pun mempersilakannya. Hafla berlari kearahku sambil menangis. Aku hanya tertawa. Aku katakan aku baik-baik saja. Lalu ku kenal kan ia pada Ahmad, calon suamiku. "Bulan, ini Ahmad calon suamiku. Dan Ahmad, ini Bulan eh Hafla teman karibku." Ucapku memperkenalkan mereka berdua. Mereka hanya tersenyum. Aneh pikirku. Dan saat itu juga, Ahmad pamit.

Entah kenapa, saat itu aku melihat bulan tercinta ku murung. Apa karna aku yang sedang sakit? Aku rasa tidak. Tapi lalu aku abaikan. Karna mungkin hanya praduga ku saja. Tak lama, Hafla mendapat telfon lalu pamit dengan buru-buru. Tas laptop nya tertinggal. Aku memanggilnya namun ia tak mendengar.

Karna berhari-hari dirumah sakit, dan merasa jenuh. Aku memutuskan untuk meminjam laptop Bulan ku. Aku biasa bertukar laptop sewaktu dikontrakan dulu. Jadi tidak apa-apa ku pikir untuk menggunakannya. Aku membukanya, namun aku menemukan sebuah blog yang belum di log-out. Aku membacanya. Aku pikir ini adalah karya tulisnya yang sedang ia persiapkan untuk salah satu majalah islami. Hafla adalah penulis lepas. Aku mulai membacanya. Ternyata aku salah. Ini adalah curahan hatinya. Aku tau, tak seharusnya ku baca ini. Namun aku bosan, jadi aku tetap membacanya.

Aku kagum dengan tulisan-tulisanya. Menarik. Tapi... tiba-tiba aku shock ketika menemukan note 8 bulan yang lalu. Bukan karna tulisannya yang mengagumkan. Namun karna aku temukan nama Ahmad Qasam disana. Aku membaca goretan noktahnya dengan hati luka tersayat. Mereka.. ternyata mereka telah saling kenal. Bukan hanya itu. Di masa silam, mereka pernah berta'aruf dan hampir menikah pula. Namun karna orang tua Hafla ditahun itu telah mendaftar umrah, mereka pun memutuskan untuk menundanya. Hafla terus menanti hari dimana mereka berdua akan bersatu. Sampai tiba-tiba saja Ahmad dipindah tugas kan ke luar kota lalu menghilang tanpa kabar. Tapi Hafla tetap menunggunya, karna ia yakin Ahmad akan kembali, dan karna.. Aku menangis membacanya, karna Hafla terlanjur mencintainya.

Seketika aku menutup laptopnya, dan lagi-lagi aku merasa gelap. Aku pingsan lagi. Kata ibuku saat itu. Ketika sadar, aku langsung menggenggam tangan ibuku. Lalu aku mengambil keputusan terberat dan memilukan untuk ku. Aku memutuskan untuk memutuskan hubungan ku dengan Ahmad, aku sama sekali tak menceritakan kejadian sebenarnya pada ibu ku. Aku tak ingin melihatnya kecewa. Aku juga tak ingin untuk yang kedua kalinya berpisah dengan Ahmad, namun aku pun tak kuasa melukai hati karibku, Bulan. Dia terlalu baik untuk disakiti. Aku memaksa diriku ikhlas.

2 hari lagi hari walimah kami, pagi itu aku mengajak Ahmad bicara empat mata serius. Aku menuntut cerita darinya. Cerita tentang ia dan Hafla. Awalnya ia tak mengakui hubungan nya dengan Hafla, karna memang ia tak ingin melukai hatiku. Katanya, antara Hafla dan dirinya sudah tak memiliki hubungan apa-apa lagi. Ta'aruf mereka telah lama usai, sampai sekarang dia menemukan kabar tentangku. Katanya, ia masih menyukaiku hingga sekarang. Namun tetap saja, aku tak ingin Hafla menangis terluka. Saat itu aku bingung. Aku memaksanya untuk memutuskan hubungan ini. Namun ia menolak. Saat itu juga Hafla datang, ia bingung mengapa aku menangis sedemikian rupa.

Aku mengajaknya duduk bersama kami. Sebelum aku bicara lanjut, aku meminta maaf padanya karna telah lancang membuka laptop serta menbaca curahan hatinya. Lalu aku ceritakan semua benakku padanya, tentang rasa bersalahku padanya, tentang kebingunganku, tentang semuanya. Seketika Hafla menangis, ia memohon agar aku tak membatalkan pernikahan yang tinggal 2 hari itu. Aku katakan padanya, aku tak mungkin menikah dengan keadaan kaki ku masih patah seperti ini. Lalu aku meminta Hafla untuk menggantikanku. Entah ungkapan bodoh apa itu. Itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku menangis tersedu. Aku tak tau harus berbuat apa. Bila aku bisa berlari, ingin aku berlari ke manapun aku bisa. Namun aku tak bisa. Aku meninggalkan mereka berdua untuk bicara. Aku tak tau harus berbuat apa. Apapun keputusan mereka. Aku akan menerimanya.

Tak lama mereka berdua menemuiku, mereka telah memutuskan agar aku melanjutkan pernikahanku, bahkan pernikahannya pun diurungkan untuk ditunda. Pernikahan akan tetap dilaksanakan apapun keadaan ku. Aku pun menerimanya meski dengan hati tersayat. Namun aku tak peduli, aku berusaha untuk mengapatiskan diri, aku telah memberikan pilihan untuk mereka sebelumnya. Dan mereka pun telah memilihnya. Mereka harus menerima apapun konsekuensnya, pikirku.

Pernikahan kami pun berlangsung sederhana, dengan kaki ku masih ter-gif. Aku melihat Hafla hadir dipernikahanku, ia cukup tegar rupanya. Mungkin aku tak akan hadir bila menjadi dia. Aku takan sanggup melihat orang yang ku cintai bersanding dengan wanita yang lain. Namun bukan Hafla jika bersikap demikian, tegasku.

Dimalam pernikahan kami, aku banyak mendengarkan cerita darinya. Aku pun menceritakan banyak hal padanya. Kami terus saja tertawa bahagia malam itu. Saat itu mungkin aku merasa menjadi wanita paling kejam sedunia. Karna aku bahagia diatas penderitaan teman karibku. Namun aku tepiskan itu, karna aku yakin temanku akan jauh menderita bila aku bersedih atasnya.

Saat ini, aku dan Ahmad Qasam telah menjadi pasangan sah. Banyak hal yang bisa kami lakukan bersama dengan leluasa tentunya. Dan meski kami telah menikah, kami masih sering mengikuti seminar-seminar umum diantara kesibukan kami. Itu mengingatkan kami pada masa dahulu. Aku hanya bisa tersenyum.

Di lima bulan pernikahan kami, aku mengandung anak pertama kami. Usianya baru 1 minggu, alhamdulillah keluarga kami bertambah bahagianya. Ahmad suami tercinta ku benar-benar memanjakan ku. Aku berhenti bekerja saat datang kehamilanku ini. Tak boleh terlalu lelah kata Ahmad, dan aku pun menurut. Sampai suatu malam, aku memimpikan Bulan ku. Dia terlihat sangat pucat dan lesu. Keesokannya ketika aku bangun, aku ceritakan hal itu pada suamiku. Aku mulai mengkhwatirkan Hafla. Setelah pernikahan kami, Hafla memutuskan untuk pindah ke luar kota. Namun ia tak katakan kemana. Ahmad bilang itu hanya sebuah mimpi, dan menyuruhku untuk tak khawatir. Namun aku tak bisa. Aku mulai mencari info tentang keberadaan Hafla. Dan aku mendapatkan alamatnya. Saat itu juga, aku dan Ahmad pergi menemuinya.

Benar saja, ternyata keadaan Hafla tidak baik. Ia terlihat pucat sekali. Dan kurus. Aku menangis melihatnya.

"Kau kenapa hafla??" Tanyaku sambil menangis dipeluknya.
"Aku baik-baik saja kok." Jawab Hafla singkat.

Aku tak percaya begitu saja. Aku tanyakan keadaan Hafla pada ibunya. Ibunya mengatakan, bahwa akhir-akhir ini ia berusaha keras melupakan Ahmad dengan melakukan banyak ibadah. Sampai terkadang ia tidak tidur. Aku menangis menangis tersedu mendengarnya.

Malamnya kami pamit pulang. Tak sepatah katapun keluar bibir kami, aku dan suamiku. Sekarang, suamiku yang terlihat khawatir. Aku melihatnya benar-benar mengkhwatirkan Hafla.

Dalam tahajudku malam ini, aku mencurahkan semuanya pada Allah. Hingga aku tertidur pulas di atas sajadahku.

Esok paginya, aku melihat suamiku murung. Aku tanyakan mengapa dan ia katakan tidak ada apa-apa. Aku bingung. Semenjak kami bertemu Hafla, sikapnya berubah dingin padaku. Aku tak ambil pusing awalnya, karna ku fikir mungkin ini hanya sementara. Tapi ternyata perkiraanku salah. Sudah beberapa minggu ia dingin padaku. Aku bertanya padanya, apakah aku melakukan salah kepadanya. Namun ia katakan tak ada. Aku semakin bingung dibuatnya. Aku sedih.

Lalu aku teringat Hafla, apa semua ini karna dia. Apa sekarang Ahmad menyesal menikahiku. Aku mengajak Ahmad bicara serius, tapi kami malah bertengkar. Ahmad bilang ia tak ingin diganggu saat ini. Sampai aku mendengar hal-hal yang tak ingin aku dengar. Ahmad, meminta ku untuk berpisah dengannya. Aku kaget, aku terkejut. Mengapa ia setega itu. Aku tanya apakah ini karna Hafla. Dan ia katakan ya. Aku langsung jatuh pingsan saat itu.

Perutku sakit sekali, ah tidak. Ini tak sesakit hatiku. Ahmad datang dan meminta maaf padaku, ia berjanji takan melakukan hal ini lagi padaku. Ia menangis, ia katakan ia hanya terbawa emosi. Dan tentang Hafla, ia hanya merasa bersalah padanya karna ia menjadi seperti itu karna dia, karna suamiku. Aku tersenyum dan memaafkannya. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika aku berada diposisinya. Ahmad menggenggam tanganku erat. Kini aku merasakan kehangatannya kembali. Aku hanya bisa menangis bahagia.

Tapi tiba-tiba perut ku sakit lagi. Sakit sekali. Ahmad panik, ia lalu keluar memanggil dokter. Dokter datang dan langsung memeriksaku. Kata dokter aku keguguran. Seketika aku menjerit, aku menangis. Anakku. Dia telah pergi. Aku sedih, namun Ahmad lebih sedih. Katanya semua ini katanya. Aku semakin sedih dibuatnya. Aku katakan tak apa. Karna semua ini milik-NYA. Aku mencoba tegar.

Satu minggu kemudian aku keluar dari rumah sakit. Aku sudah baik-baik saja alhamdulillah. Malamnya aku duduk berdua disudut kamar bersama Ahmad, kami bersenda gurau. Lalu aku bicara serius. Bagaimana kalau Ahmad menikahi Hafla. Ahmad terkejut. Aku katakan bahwa aku serius tak bercanda. Ahmad menolaknya.

Aku terus saja membujuknya. Aku tau ini bukanlah hal yang mudah, dan sangat tak masuk akal ada istri meminta untuk di madu. Aku tau ini akan menyakitkan untukku, namun aku yakin suamiku mampu berlaku adil. Suamiku marah padaku, ia katakan bahwa ia takan pernah melakukan hal semacam itu. Tapi aku tak menyerah. Aku katakan aku mencintainya, akupun yakin bahwa ia pun mencintaiku. Tapi Hafla, aku benar-benar khawatir padanya, aku tak bisa bahagia diatas penderitaanya. Aku pun melihat satu hal dari mata suamiku. Aku melihat Ahmad merindukan hadirnya Hafla.

Malam itu aku terus saja membujuknya, aku katakan bahwa aku menginginkan syurga atas hal ini. Suamiku menangis dan mendekapku erat, lalu ia katakan bahwa ia akan melakukannya. Aku bahagia mendengarnya. Dalam tahajudku, aku menangis, mengadu pada-NYA. Bahwa sungguh hatiku sakit. Meski aku yang meminta perihal ini, namun aku tak kuasa menahan pedihnya. Berbagi suami. Hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Namun aku mencoba ikhlas. Aku bahagia. Ya aku harus bahagia. Ah tidak. Kami bertiga harus bahagia.

Dihari pernikahan mereka, aku hanya mampu menahan haru dari balik tirai. Aku cemburu melihat mereka berdua tersenyum hangat. Air mataku terjatuh. Meski cemburu, namun aku bahagia.

Dimalam pernikahan mereka, aku menyiapkan segala-galanya. Kamar pengantin ku hias sedemikian indahnya. Lalu mereka berdua datang, lantas memelukku. Aku bahagia memiliki kalian, aku katakan padanya. Lalu Ahmad menggenggam erat tanganku dan mengatakan bahwa ia mencintaiku. Aku tersenyum bahagia mendengarnya. Lalu aku bisikan di telinga Ahmad, suami yang aku sangat cintai.. bahwa rembulan ini untukmu, sayang.

 

Blogger news

Blogroll

About

CERITA SEDIH © 2012 | Template By arif rahman