Pintu yang berat itu terdengar berbunyi di buka oleh
orang-orang.Terlihatada dua orang wanita muda yang masuk melalui pintu
yang terbuka tadi,dengan menggunakan pakaian ala indonesia. Dari jauh
terlihat jelas bahwa dua orang itu adalah kakak beradik,karena air muka
mereka tampak jelas sekali tidak ada perbedaan yang tertua di antara
mereka bernama Putri dan adiknya bernama Tari. Ketika asyiknya mereka
menikmati indahnya pemandangan dan ikan-ikan yang ada di akuarium itu,
sampai-sampai mereka tidak sadar kalau merekalah orang yang paling
pertama datang ke gedung akuarium itu. Karena sudah terlalu lama mereka
berada di situ,tiba-tiba Putri ingin mengajak adiknya Tari untuk pulang.
Namun Tari tidak memperdulikan itu,matanya terus tertuju pada ikan-ikan
yang indah dan berwarna warni yang ada di pojok gedung akuarium
itu.”Wah....indahnya ikan-ikan ini” terdengar suara dari mulut Tari
memuji ikan itu. Dari alunan suara itu tampak sekali perbedaan kedua
bersaudara itu,Putri adalah orang yang tidak mudah kagum akan sesuatu,
akan tetapi dia lebih memikirkan pekerjaannya sebagai seorang putri
desa, lain halnya dengan Tari dia adalah seorang anak yang mudah kagum
akan sesuatu, dan dia tidak memikirkan nasib dirinya sendiri.
Hari sudah menunjuki pukul 09.00,dan terdengar bunyi orang membuka pintu
yang kedua kalinya. Terlihat dari pojok gedung itu tampak sekelompok
keluarga masuk kedalam gedung akuarium itu.Yang tertua di antara mereka
berjalan dengan begitu cepat menuju ikan yang indah-indah di dalam
gedung akuarium itu. Melihat kegirangan saudara-saudaranya itu,tak kuasa
yang paling bungsupun juga memaksa turun dari pangkuan ibunya dan ikut
berlari bersama saudara-saudaranya. Tak lama kemudian masuklah seorang
pemuda yang berpakaian rapi dan mengenakan jas berwarna kehitam hitaman.
Sesampainya di dalam gedung, pemuda itu terus melangkah hingga sampai
di tempat Putri dan Tari. Melihat dua gadis itu ia tak tahu apa yang
akan di lakukannya,satu cowok dan dua gadis.
”To”, panggil anak kecil dari beberapa bersaudara tadi memanggil
kakaknya yang tertua di antara mereka yaitu Toto. Sambil berjalan dan
melihat ikan-ikan yang ada di akuarium tersebut, tanpa di sadari nya
kalau ia sudah tersesat ke tempat orang yang tidak di
kenalinya.”Tante”panggil anak itu. Mendengar panggilan itu dengan cepat
Tari menoleh kepada anak itu.”Iya......” jawab Tari. Anak itupun terdiam
dan bingung, karena ternyata yang dia panggil itu bukanlah orang yang
dia kenal, dan ternyata ia sudah tersesat ke tempat orang yang lain. Tak
lama kemudian datanglah ibu dan kakak-kakak nya. Melihat keluarga yang
harmonis itu langsung terpancar senyum manis dari wajah Tari.
”Adek...mau cokelat ??” tanya Tari. Mendengar pertanyaan itu,langsung
anak tadi berjalan ke tempat laki-laki yang baru masuk tadi,dan kemudian
dia mengambil cokelat itu. Setelah dia mendapatkan cokelat itu,
kemudian dia langsung berlari dengan penuh riang gembira menuju kepada
saudara-saudaranya dengan maksud untuk memamerkan cokelat tersebut.
Waktu sudah menunjuki pukul 11.00 WIB, tak lama memudian keluarlah Putri
dan Tari dari dalam gedung tersebut. Merekapun langsung mengambil
sepeda yang mereka simpan di tempat parkiran sepeda, dan langsung
bergegas pulang. Akan tetapi,di tengah perjalanan mereka bertemu lagi
dengan laki-laki tadi yang ada di akuarium tempat mereka berkunjung
tadi.
”Siang nona-nona....” sapa laki-laki itu,
”Siang juga.....” jawab Tari.
“O ya....,ngomong-ngomong kalian mau ke mana, kok sepertinya buru-buru.....”
“I ya ni mas, kami memang lagi buru-buru, soalnya ayah sudah menunggu kami di rumah rumah dari tadi malahan”
“O... gitu ?? kalau gak keberatan kita pulang sama-sama saja”Pinta laki-laki itu.
“Emangnya mas mau kemana...???” tanya Putri.
“Saya mau pulang ke rumah, rumah saya terletak di jalan Cendrawasih, komplek Mawar no 02.”
“O..... kalau gitu kebetulan dong, rumah kami juga terletak di jalan cendrawasih.”
“Ya sudah kalau kalian tidak keberatan, boleh saya ikut dengan kalian berdua...???”
“Tapi gimana ya.....,soalnya kami harus kepasar dulu untuk beli oleh-oleh buat bibi di kampung.”
“O..... gak masalah,kebetulan saya juga mau cari makanan di pasar.”
Karena asyiknya mengobrol,sampai-sampai mereka lupa kalau mereka sudah
sampai di pasar.Padahal merea belum juga belum kenal satu sama lain.
“Eh Tar... seprtinya kita sudah sampai di pasar” cetus Putri di balik keseriusan mereka.
“O......iya ya kita sudah sampai ni”
“Mas, kami cari pesanan ayah dulu ya”
“O iya ya.... silakan, biar saaya tunggu di sini aja ya...”
“ O... gak usah repot-repotlah mas, mendingan mas pulang aja dulu”
“Ngak..., ngak masalah ko biar saya tunggu saja di sini, kebetulan saya juga mau cari makanan dulu.”
“Ya udah deh,kalau memang mas maunya gitu, ya terserah mas ajalah”
Setelah Putri dan Tari mencari pesanan ayahnya, merekapun langsung
pulang.Di tengah asyiknya perjalanan, tiba-tiba laki-laki yang dari tadi
bersama mereka menanyakan nama mereka.”Mbak, saya boleh tanya sesuatu
gak sama mbak berdua, soalnya engkan dari tadi kita mengobrol tapi saya
dan mbak kan belum kenal satu sama lain...”
“Boleh.....apa ??” tanya Putri.
“Saya Cuma mau tanya siapa nama mbak berdua ini, kalau nama saya Andika.”
“Saya salah satu dari mahasiswa di Universitas Indonesia.”
“Kebetul saya lagi menyelesaikan sekripsi ujian akhir saya
“Wah keren banget, ungkap Tari.”
“Kalau saya ......”
“O... ya, nama saya Putri dan ini adik saya namanya Tari.”
“Saya seorang putri desa di desa ini dan adik saya sekarang lagi kulyah
di Universitas Teknologi Bandung. Akan tetapi Tari orangnya paling cepat
kagum akan sesuatu.Maklum sejak di tinggal ibunya, dia memang suka di
manja sama ayah.
“Eh... jadi malu ni” cetus Tari.
“Sementara saya sendiri lagi sibuk mengurus organisasi perkumpulan
putri-putri desa, dan di tambah lagi harus mengurus rumah, ayah, dan
adik saya ini.”
“Emangnya ibu kalian kemana....” tanya Andika.
“Ibu kami sudah lama meninggal, sekarang kami hanya tinggal bertiga dengan ayah.”
“O gitu......”
“maaf saya gak bermaksud buat kalian sedih”
“Nggak apa-apa ko mungkin ini smua sudah kehendak Allah.”
“Ya si, tapi saya harap kalian harus sabar dan tetap tabah ya...”
“terutama kamu Tari,kamu harus bantu kakak kamu, kan kasihan dia,
sudahlah sibuk dengan pekerjaannya di tambah lagi harus mengurus rumah,
kan kasihan....”
Tak lama kemudian Tari dan Putri pun tiba di persimpangan jalan rumah
mereka.”Andika mungkin kita harus berpisah sampai di sini, karena kami
tinggal di jalan ini, ngak jauh kok, paling-paling lima menit dari sini,
sudah sampai.” Cetus Putri
Akhirnya Putri, Tari dan Andika pun berpisah di tengah jalan.Sepanjang
perjalanan pulang, Andika hanya terbayang-bayang wajah kedua gadis itu,
apalagi dengan Tari yang dari tadi hanya bercanda dan selalu penuh
senyuman kepadanya.
Sesampainya di rumah, Putri danTari sudah di tunggu ayahnya, karena
mereka ingin pergi ke rumah bibi mereka.Tak lama kemudian merekapun
berangkat ke rumah bibi mereka, untuk mengantar hadiah yang mereka
belikan tadi sekaligus untuk menjenguk keponakan mereka yang sedang
sakit.
Pagi-pagi sekali Andika sudah pergi ke kampusnya. Dengan wajah yang penuh kegembiraan,diapun terus mengayuh sepedanya.
“Ya Allah, seandainya pagi ini kau pertemukan aku dengan Tari, mungkin
aku tak bisa berkata- kata lagi untuk memujimu.” Ucap Andika kepada
dirinya sendiri.
“Kring...kring...”
Bunyi suara sepeda di belakang Andika.
“Pagi mas...” sapa Tari
“Hay....pagi juga” sahut Andika.
“Wah cantik banget,” ungkap Andika dalam hati
“Mas....ko ngelihatnya seperti itu, apa ada yang salah atau ada yang aneh gitu dengan saya” tanya Tari.
“Ngak..., ngak ko ngak ada yang salah apalagi aneh.”
“lalu apa dong....”
“gini saya heran aja , dan gak nyangka aja kalau pagi ini bisa bertemu dengan orang uang secantik dan semanis dirimu”
“ii....., mas ini gombal deh.”
“ngak..., emang benar kok, kamu pagi ini terlihat tampak lebih cantik
dari pada kemaren, jangan-jangan kamu mau ketemu pacar kamu ya....”
“ pacar......... saya belum punya pacar mas, kalaupun ada ya.... itu mas kali.”
“sorry.....,Cuma bercanda.”
Sambil tertawa mereka terus mengobrol sampai di depan kampus Andika.
Sekembalinya Tari ke rumah, dia tampak ceria dan mulai senang untuk
mengurus bunga-bunganya lagi dan mau membantu kakaknya. Sampai-sampai
kakak dan ayahnya pun heran melihat tingkah laku Tari akhir-akhir ini.
Itu semua terjadi saat Tari mengenal Andika dan mungkin karena kedekatan
mereka.
Andika adalah anak pak Sunarto, salah satu orang yang terpandang di desa
makmur. Dia juga selalu perduli akan kebutuhan orang lain dan
keluarganya.
Hari itu tampak Andika lebih awal dari hari biasanya pergi ke kampus. Di
tengah perjalanan ke kampus. Pikirannya hanya tertuju pada Tari. Maklum
mereka juga sudah sangat dekat. Tiba-tiba taripun muncul dari belakang
Andika, seraya mengucapkan,”selamat pagi tuan......”Andika ppun terkejut
bukan kepalang, dia sungguh tak menyangka kalau pagi itudia bisa
bertemu lagi dengan Tari. Soalnya sudah tiga hari dia tidak berjumpa
dengan Tari, karena Tari ikut pergi ke desa untuk menjenguk bibinya di
sana,
“Wah... kamu cantik sekali Tari”
“ kamu tu ya paling bisa kalau merayu dan bercanda.”
“ enggak...., saya tidsk bercanda, tapi ini kenyataan.”
“mm....... terima kasih ya atas pujiannya.”
Tari memang terlihat sangat cantik, apalagi baju yang dia pakai sangat
mndukung wajahnya, wajar aja kalau dia trlihat sangat cantik.
“o ya kamu hari ini ada acara tidak..”
“ kalau tidak ada boleh dong saya main ke rumah kamu, sekalian berkenalan dengan ayah kamu”
“ kalau acara si gak ada tu”
“ pi saya mau bantu kakak mempersiapkan undangan buat perkumpulan putri desa lusa”
“ soalnya kakak saya terpilih sebagai ketua umum perkumpulan putri desa”
“O gitu, kalau memang lagi sibuk, lain kali aja deh saya main ke rumah kamu ya.....”
‘ bolehkan.......”
“ Iya, pasti boleh kok, nanti mas datang saja ke rumah saya, kebetulan ayah juga lagi libur.”
Pagi itu tepat pukul 08.00 Andika bergegas untuk pergi ke rumah Tari.
Dia memakai baju kemeja lengan panjang berwarna putih dan di lapisi
dengan jas hitamnya, dan dia klihatan lebih tampan sekali dari biasanya.
Setelah sampai di rumah, Andika duduk di halaman rumah yang di penuhi
kembang dan mawar berwarna putih yang begitu harum baunya.
“Subhanallah...., indah sekali kebun bunga ini” ucap Andika kekaguman
Tak lama kemudian Tari pun keluar dari rumahnya untuk menemui Andika yang dari tadi sudah menunggunya di perkarangan rumahnya.
“Pagi mas.....” sapa Tari
“ eh..... kamu, pagi juga”
“maaf ya sudah membuat mas lama menunggu”
“O... gak kok, saya juga belum terlalu lama datang”
“ ngomong-ngomong mana kakak dan ayah mu”
“Ko sepi sekali rumah ini”
“o... itu, kakak lagi sibuk untuk persiapan kongres kongres putri desa besok dan ayah lagi mandi”
“ mas masuk yok”
Sambil menunggu ayah Tari keluar kamar, mereka sibuk mengobrol yentang
putri desa yang akan di adakan besok. Apalagi yang akan bicara untuk
memberikan sambutan adalah kakak Tari sendiri yaitu Putri.
“Kakak saya memang selalu sibuk untuk mengurus organisasinya, apalagi
mereka sekarang sudah bekrja sama dengan perempuan-perempuan kota untuk
di jadikan anggota organisasi mereka.” Ungkap Tari di tengah keheningan.
“mengapa kamu tidak mau bergabung dengan organisasi kakak mu itu...”
“ ya si....,sebenarnya saya mau ikut, tapi saya gak tahu caranya, apalagi sayakan belum berpengalaman.”
“kalaulah kamu mau masuk organisasi itu,pastilah kamu akan mendapat
pengalaman yang luar biasa apalagi bisa bertemu dan bisa berkenalan
dengan perempuan di bangsa kita ini.”
“akhir-akhir ini perkumpulan para pemuda Indonesia juga gak kalah hebatnya dari apa yang kakak mu lakukan.”
“ ya, nanti saya akan coba mendaftarkan diri saya ke sana dan kalau di
terima, maka saya akan berusa untuk membawa nama baik perempuan bangsa
ini, agar menjadi perempuan yang kuat dan bermatabat di mata dunia.”
“Kalau kamu memang serius,maka saya akan dukung kamu”
Akhirnya ayah Tari pun keluar untuk menemui mereka. Setelah sekian lama
mereka mengobrol, Andika pun meminta izin untuk membawa Tari
jalan-jalan. Dan ternyata ayah Taripun mengizinkan. Setelah mendapatkan
izin dari sang ayah, Tari pun bersiap-siap untuk pergi. Tak lama
kemudian Tari dan Andika pun pergi untuk berjalan-jalan. Sementara itu
kakak Tari di panggil ayahnya keluar dan di suruh ayahnya untuk menunggu
adiknya sampai pulang.
Dari balik kaca rumah,Putri melihat adiknya yang berjalan teramat mesra
laksana sepasang kekasih. Dari kejauhan dia masih tetap saja memandang
gerak gerik adiknya itu hingga akhirnya tak terlihat lagi. Putri pun
tampak termenung di beranda rumah,dia seperti melamunkan sesuatu.
“Toto, kalau saja kamu masih di sampingku hingga saat ini, pasti saya
tidak akan merasa kesepian seperti ini, dan saya juga merasa iri dengan
kebahagiaan adik saya dan temannya Andika.” Ucap Putri sambil menangis.
Dia sepertinya teringat dengan bekas tunangannya dulu, dan mungkin saja
dia masih menyimpan rasa rindu di hatinya terhadap tunangannya itu,akan
tetapi dia selalu mencoba unt k mengubur rasa itu dari dari dalam
hatinya, hingga dia memutuskan untk mencari pengganti toto. Karena dia
tidak ingin di sakiti lagi untukedua kalinya. Hal itu juga yang mungkin
menyebabkan dia jadi keras dan tidak cepat kagum akan sesuatu,lain
halnya dengan Tari dia memang belum merasakan di khianati cinta.
Di sepanjang perjalanan Andika dan Tari selalu bercanda tawa tanpa
mengenal lelah dan memperdulikan waktu.sampai pada saat di mana tempat
yang mereka tuju telah di dekati,lalu merekapun tmpak bersiap-siap untuk
turun ke bawah air terjun yang sangat indah.
“Wah, luar biasa sekali Allah menciptakaan alam dan pemandangan yang
seindah ini.”cetus Tari yang kagum akan keindahan alam yang di ciptakan
oleh sang illahi itu.
“Tari kamu harus ingat apa kata ayahmu tadi, kamu jangan sampai terlalu kagum akan sesuatu.”
“O.... gak kok”
“saya hanya terharu saja pada keindahan alam di kaki pegunungan ini.”
“soalnya tempat ini selalu mengigatkan saya pada sang bunda dan masa kecil saya.”
“dulu saya selalu di ajak bunda untuk pergi ke tempat-tempat seperti
ini, dan sekarang saya sudah tidak bisa merasakan itu lagi hanya baru
kali ini.” Ucap Tari sambil meneteskan air mata.
“Tari, maafkan saya”
“ saya tidak bermaksud membuat kamu sedih, saya hanya mau ingatin kamu pada pesan ayah kamu tadi.”
“O..... gak apa-apa kok,ini semua memang salahku yang terlalu larut akan semua ini.”
Waktu sudah menunjuki pukul 17.30 WIB, dan kini Tari dasn Andika harus
bergegas pulang. Karena mereka tidak ingin mengecewakan dan membohongi
ayah Tari.
“Andika, sepertinya kita harus lekas pulang, karena hari sudah terlalu sore, nanti kita di cari ayah”
“ ok, kalau begitu saya ambil tas dulu ya.”
“O.... ya silakan.”
Padahal baru saja Andika ingin mengungkapkan isi hatinya kepada Tari,
tetapi mereka harus segera pulang. Supaya mereka tidak di cari sama
ayahnya Tari. Tak lama kemudian Tari dan Andika pun muncul di pekarangan
rumah Tari, di situ hanya tampak kakaknya Tari yang dari tadi menunggu
mereka pulang.
“Andika sepertinya itu kakak,” ucap Tari.
“I ya...... itu memang kakak kamu yang lagi nungguin kamu.”
“Assalamualaikum........” sapa Tari dan Andika kepada putri.
“Waalaikumusallam......”
"Eh kalian sudah pulang”
“bagaimana jalan-jalannya, Asyik gak”
“O...... itu, pasti dong”
“jalan-jalannya asyik bangat”
“Hai Andika.....”
“Hai juga ......”
“ O ya masuk yok, nanti saya buatin air. Mungkin kamu haus, karena sudah satu harian jalan-jalan”
“ Tari kamu tunggu di sini bentar ya, kakak mau ambilkan air dulu kedalam.”
“E...... sudahlah Putri gak usah repot-repot, lagi pula saya mau pulang”
“Kasian mama di rumah sendirian.”
“Sekali lagi terima kasih aja atas tawarannya, sekarang saya permisi pulang dulu ya.”
“O ya silakan”
“Andika, terima kasih ya atas.........” Tiba- tiba ucapan Tari dia hentikan sambil dia tersenyum dengan manisnya.
Andikapun bergegas pulang ke rumahnya, karena dia tidak mau membiarkan
mamanya sendirian di rumah sore-sore seperti ini. Maklum ayahnya memang
lagi tidak ada di rumah. Sesamapainya di rumah Andika langsung masuk ke
dalam sambil mengucapkan salam.
“Assalamualaikum.......”
“ ma......mama.....” panggil Andika mencari mamanya.
“waalaikumsalam.......”
“ Ada apa si Dika kamu kok teriak-teriak.”
“ seperti orang gila saja.”
“ Ah... mama ini, bisanya Cuma becanda aja.”
“ O ya ma,Dika mau mandi dulu ya. Soalnya badan Dika sudah bau bagat ni,
habisnya satu harian main di bawah sinar matahari dan air terjun di
bawah kaki gunung Cempaka.”
“ Ya sudah, cepat mandi sana.......”
“Jangan lupa shalat lalu baru kamu boleh istirahat.”
“ ok deh mam....., tugas akan segera hamba laksanakan.”
Kongres putri desapun dimulai, dan tampak Putri lagi bersiap-siap untuk
menyampaikan sambutan kepada para peserta yang hadir. Dan tampak di situ
ada seorang putri yang cantik sekali. Siapa lagi dia kalau bukan Tari
adiknya Putri.
Tak lama kemudian Putripun berjalan menuju panggung dan naik ke atas
mimbar yang di sediakan panitia penyelenggara kongres tersebut, untuk
memberikan sambutan sekaligus membuka acara tersebut. Setelah ia di
persilakan oleh pembawa acara, suara riuh tepuk tanganpun menghempas
ruangan yang tadinya sunyi. Setelah Putri menyampaikan isi sambutannya,
suara tepuk tangan yang tadinya ribut serentak hilang seketika. Kemudian
Putri berbicara tentang martabat wanita Indonesia yang hancur
disebabkan oleh ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun,
tak lama kemudian gedung yang tadinya sunyi kini terdengar kembali oleh
suara riuh tepk tangan para peserta kongres yang hadir. Ketika Putri
memberi semangat dan gambaran tentang wanita-wanita Indonesia masa kini.
Kongres itupun akhirnya selesai setelah Putri menutup acara tersebut dan
turun dari panggung kehormatannya. Tampak para peserta mulai sibuk
keluar dari gedung sambil bersalaman dengan Putri dan yang lainnya.
Hanya Tarilah yang masih duduk di bangkunya sampai para peserta tadi
keluar semua. Putri pun datang mendekati Tari, dan merekapun bergegas
untuk pulang ke rumah. Disepanjang perjalanan Tari selalu ingat akan
pesan kakaknya tadi waktu memberi sambutan.
“ kita sebagai wanita Indonesia yang lahir di desa harus bisa bangkit
dan jangan mau di perbudak oleh kaum laki-laki.” Kata-kata itu selalu
teringat oleh Tari
Sesampainya dirumah Putri langsung pergi menuju ruang dapur, dan dia
melihat banyak sekali barang-barang yang kotor. Kemudian, dia langsung
membersihkannya. Lain hal nya dengan Tari, ketika sampai di rumah dia
langsung masuk kamar dan langsung istirahat. Tak lama kemudian, ayah
merekapun pulang kerumah dan melihat Putri yang lagi sibuk membersihkan
dapur. Melihat keuletan anak pertamanya itu dalam mengurus rumah tangga,
tiba-tiba dia teringat akan almarhum istrinya dulu.
“ Bu.... kalau kamu masih hidup, pasti anak kita gak akan seperti ini.”
Ucap ayah Putri sambil menangis. Mendengar suara ayahnya di luar,
Putripun langsung keluar menemui ayahnya itu.
“Eh..... ayah, sudah pulang yah???
“ Gimana yah keadaan bibi apa sudah baikan atau mungkin masih sakit....”
Sambil menyapu air matanya, didi menceritakan keadaan saudaranya itu kepada putri.
“ Putri bibimu sekarang sudah sembuh, dan sudah bisa bekerja lagi.”
“ Kamu sendiri gimana apa kongresnya berjalan dengan lancar.”
“iya yah... kongresnya lancar-lancar aja kok tadi.”
“ yah, saya mau tanya sama ayah.”
“Gimana kalau adik saya keluar aja dari anggota putri desa....”
“Ya... kalau itu si ayah masih kurang berani mengambil keputusan, soalnya kasihan adikmu dirumah tidak ada yang mau dia perbuat”
“iya....ya, ayah benar juga.” “ nanti kalau Tari keluar dia mau kerja apa....”
Hari sudah menjelang sore, tampak Putri dan Tari lagi asyikduduk berdua di beranda rumah sambil bercanda.
“ Tari ayo kita masuk.....” “sepertnya hari sudah mau magrib, kan tidak
enak di lihat tetangga kalau kita nongkrong di teras magrib-magrib
begini”
“Ayo...., saya juga sudah capek bercanda terus apalagi sama kakak.”
“Bosan ah.....”
“Seperti gak ada nuansa baru.”
“Udah ah....kamu ini, ayo masuk”
Akhirnya Putri dan Taripun masuk kedalam rumah,lalu merekapun shalat
berjamaah bersama ayahnya. Sungguh keluarga yang sejahtera walaupun
keluarga mereka sudah kehilangan satu orang yang sangat berpengaruh
besar di keluarga itu dan yang sangat mereka sayangi. Siapa lagi kalau
bukan ibu mereka yang sudah tiada saat mereka masih kecil.
Pagi-pagi sekali, Putri sudah bangun. Dan dia langsung mempersiapkan
sarapan untuk ayah dan adiknya. Tak lama kemudian, ayah dan adiknya pun
bangun, dan ayahnya langsung bergegas mandi karena mau pergi bekerja.
Sebelum berangkat ayah Tari sarapan terlebih dahulu baru di ikuti Tari
dan Putri. Merekapun sarapan bersama-sama. Setelah selesai
sarapan,Taripun langsung pergi ke sekolah. Sungguh tiada disangka dan
diduga kalau hari ini dia juga bertemu dengan Andika. Ditengah
perjalanan mereka tampak asyk mengobrol layaknya sepasang kekasih.
Padahal mereka hanya sebatas teman biasa.
“Tari apa kamu ada waktu hari minggu nanti.....”
“waktu apa......?”
“Waktu kosong....”
“Kalau ada saya mau mengajak kamu pergi ketempat yang belum pernah kita kunjungi di desa ini.”
“Ada....”
“Ok... kalau begitu nanti saya tanya sama ayah boleh apa tidak.”
“Kalau boleh kita langsung pergi, tapi kalau tidak diizinkan mas jangan kecewa ya.”
“Pastinya dong.”
Sekembalinya Tari kerumah, diapun langsung berjumpa dengan ayahnya dan
diapun mencoba meminta izin kepada ayahnya. Namun ayahnya tidak
mengizinkan, karena hari minggu nanti akan di adakan kongres lanjutan.
Sebagai lanjutan dari kongres beberapa hari yang lalu. Taripun memahami
hal itu,dan diapun menuruti apa yang dikatakan ayahnya. Hari minggu
itupun ternyata Andika pergi kerumah orang tuanya di kota baru, karena
dia sudah memasuki waktu liburan dan ingin menghabiskan liburannya
disana.
Pagi itu tampak kedua bersaudara itu sudah bersiap-siap untuk menghadiri
kongres lanjutan, dengan pakaian kebaya yang mereka kenakan menambah
indahnya suasana di pagi itu. Kongres itupun dimulai, setelah Putri
masuk dan naik ke atas mimbar.
“saudara-saudara sepertinya kalian sangat jemu mendengar saya berbicara
di depan sini, membaca nasihat-nasihat yang sangat manis untuk kaum
perempuan ini. Tetapi, saudara-saudara harus ingat selalu akan hal itu.
Supaya kita bisa menjaga harkat dan martabat wanita bangsa ini."
" supaya untuk menjaga wanita itu agar jangan cepat insyaf akan
kedudukannya, akan nasibnya yang nista ini.itu semua harus kita lakukan
demi melindungi kaum wanita dari kejahatan dan aib.dengan jalan jalan
demikianlah maka perempuan kita akan berguna dimata dunia.”
Panjang lebar Putri menyampaikan nasihat demi menjaga wanita bangsa ini. Agar menjadi wanita yang kuat dan besar.
Kongres itupun akhirnya usai dan para peserta memberikan tepuk tangan
dan semangat serta penghargaan kepada Putri, atas kepandaiannya dalam
memimpin. Putri dan Taripun langsung pulang kerumah karena mereka sudah
di tunggu ayah mereka. Hari itu mereka di ajak ayahnya pergi ke rumah
bibinya.
Sudah satu minggu Andika di rumah orang tuanya, kini diapun ingin
kembali ke kampung halamannya untuk meneruskan kulyahnya yang sudah
masuk semester akhir itu. Namun dia juga masih ingin tinggal lebih lama
lagi dengan orang tuanya di kota baru karena dia sudah lama sekali tidak
bertemu dengan orang tuanya itu.
Tari dan Andikapun kini bisa berjalan bersama lagi, setelah hampir satu
bulan mereka tidak bertemu. Mereka duduk berdua diatas batu besar yang
hitam kehijau-hjauan oleh lumut. Andika mengenakan jas berwarna hitam
dan berdasi sutra yang kemerah-merahan. Dibahunya tersandang tali botol
termos yang di gantung pada sisi lengannya,dan tangan kanannya di
pegangnya topi berwarna hitam. Tari yang memakai baju putih dan rok
hitam yang menutupi lututnya. Kakinya hanya dibaluti oleh kaus yang
lebih tinggi sedikit dari mata kakinya. Dipangkuannya dipegangnya sebuah
bungkusan kecil. Keduanya takjub melihat kehadapan, kepada air terjun
yang gemuruh bersorak terjun iri atas tebing yang rapat ditumbuhi rumpun
bambu. Berputar-putar dan berombak-ombak, air yang baru jatuh itu
terkumpul dibawah didalam jurang dan pada suatu tempat ia mengalir
diantara batu-batu yang besar.
Tiada jauh dari mereka, berdiri empat orang anak muda. Dua orang
laki-laki dan dua orang perempuan. Diatas t ebing kelihatan beberapa
orang laki-lakiberpakaian padu. Sementara itu, dari atas tebing
dibelakang mereka senang tiasa kelihatan orang datang.
“Mengapa kamu dia saja.....”
Tari mengangkat mukanya yang kemerah-merahan karena sinar matahari dan memandang kepada Andika agak keletihan rupanya.
“Saya agak lesu.....” katanya perlahan hampir tiada kedengaran.
Mendengar jawaban Tari itu, segera berubah muka Andika dan tampaknya dia
agak cemas.
“ kamu sakit Tari.....” suaranya terang menyatakan bahwa ia agak
khawatir melihat rupa Tari ketika itu. Tapi Tari menggelengkan kepalanya
dengan senyum antara kelihatan dan tiada.
“ sakit si tidak, tapi saya agak letih”
“ Saya dari dulu memang kurang kuat menahan letih.”
“ Kalau saya sudah berlari cepat-cepat, pemandangan saya dan nafas saya agak sesak.”
“ Ya badanmu budan badan yang kuat, saya salah dari tadi tidak ingat akan hal itu.” Kata Andika agak menyesal.
Andika memandang ke sekelilingnya untuk mencari tempat duduk yang baik.
Lalu dilihatnya dibelakang mereka ada batu yang besar, lalu berkata ia
kepada Tari.
“ Tari. ..., ayo kita kesana ke batu dekat tebing itu, engkau boleh beristirahat disana sesukamu.”
“ Ah... tidak mengapa, disini saja paling juga sebentar lagi letih saya
akan hilang.” Jawab Tari membantah, ia tidak ingin menunjukan kelemahan
yang di lebih-lebihkan.
Tetapi andika tidak dapat disangkal lagi,ia merasa tanggungan yang
dipikulnya amat besar. “ Tidak.....tidak....., engkau harus duduk
disana.” Ucapan yang setetap itu tidak terlawan oleh Tari. Iapun berdiri
dan bersama-sama Andika, pergi kebatu ditepi tebing itu. Andika
mengeluarkan dua buah bingkisan roti dari sakunya dan diberikannya
sebuah kepada Tari.
” Marilah makan ini dulu, badanmu akan dikuatkannya kembali.”
Sementara itu, mereka bercakap-cakap juga. Bertambah lama bertambah
asyik, sebab lambat laun Tari hilang pula letihnya. Andika menceritakan
kebesaran dan keindahan alam didaerahnya tempat ia lahir. Hutan yang
luas, danau yang besar dan indah dan jalan yang berbelit-belit dan
berliku. Bercahaya-cahaya mata Tari mendengar cerita Andika akan
keindahan negerinya. Dan didalam hatinya yang mengagumi anak muda itu
tergambarlah segala hal yang didengarkannya itu.Tari mencoba berdiri dan
berjalan-jalan, seolah-olah dia berada ditenpat kelahiran Andika.
Andikapun sedikit tertawa melihat tingkah laku Tari yang berubah secara
spontantanitas itu.
“ kamu sudah kuat Tari.......”saya takut nanti harus mengendong orang pula pulang ke rumah.” Ejek Andika kepada Tari.
“ Ya... saya tahu akan hal itu, sebab engkau tidak akan kuat mengendong
saya” jawab Tari sambil tertawa. Mukanya yang merah karena panas lebih
memerah lagi menginsyafkan arti perkataan yang keluar dari mulutnya
dengan tiada di ketahuinya itu, dan dibuangnyalah mukanya ke tempat lain
karena dia agak sedikit malu untuk memandang andika.
“ Kalau tidak letih ternyata Tari lucu benar.” Ujar Andika dengan
tenang. Baiklah kita naik keatas berjalan-jalan disana.” Iapun berdiri
pula, diambilnyalah setangan alas duduk Tari, dikiraikannya beberapa
kali, lalu dimaskkannya kedalam sakunya. Tari mengambil lebih buah
anggur yanh terletak diatas batu dengan tangannya.
“Indah benar tempat berjalan dibawah bambu ini” ujar Tari seraya
memandangkan matanya mengikuti jalan yang teduh dihadapan mereka.
“ Ini pertama kali saya berjalan kemari, di Jakarta tidak ada tempat berjaan hari minggu seperti ini dan seindah ini.”
Perasaan bahagia yang menahan kegembiraan hati mereka. Langkah mereka
memberat dan percakapan yang riang, penuh canda dan tawa melembut
seperti belaian yang halus.
“ Mengapa kamu diam pula……..” kata Andika tiba-tiba setelah mereka lama
berjalan dengan tiada terkata-kata. Tari mengangkat mukanya melihat
kepada Andika dan matanya yang besar hitamdan jelita itu berat rupanya.
Senyum yanh tertahan membayang pada wajahnya. Andika segera membuang
mukanya melihat mata gadis yang menghimbau itu. Ia menolak perasaan yang
ghaib merasuk qalbunya. Tari melihat kepada bunga kembang setahun yang
tumbuh terpencil di bawah bunga Marygold yang gembira memuncakan
kembangnya yang kuning.
“ Bagus benar bunga ini,” ujar Tari.
“ kalau kita di Jakarta, tentu sudah saya cabut bunga ini untuk ditanam di rumah.”
“Tidak usah engkau cabut, ambil saja kembangnya yang tua. Cukuplah itu ditanam”
“O ya, kalau begitu baiklah kamu yang menyimpannya, saya hendak mencucukannya di kelopak bajumu.maukah kamu…..”
Dengan tiada menanti jawaban lagi,seeralah Tari memetik bunga itu. Iapun
mendekati Andika dan tangannya yang halus memegang kembang setahun itu,
dan memasukannya kedalam kelopak baju Andika. Sementara itu,Andika
dengan pesat mengamati gadis yang sangat dekat dengannya itu. Rambutnya
yang hitam lebat teranyam, mukannya yang merah bercahaya tersenyum
ditahan. Sebentar terasa kepadanya tangan yang halus itu gemetar pada
dada bajunya. Sesuatu perasaan nikmat yang sejak dari tadi melingkungi
kedua muda remaja itu. Dari mulut Tari keluar ucapan agak gemetar,
tatapi nyata menyuarakan kepastian seseorang yang yakin akan
kemenangannya.
Tari tiada membantah lagi, tetapi mukanya yang memucat di tundukannya
kebawah dengan tiada berkata sesuatu apapun. Pada mata Tari kelihatan
kepadanya berlinang air mata dan mesra meminta mengemetarlah suaranya
untuk pertama kali seumur hidupnya.
“ Tari….Tari….. tahukah kamu kalau saya cinta padamu….” Badan Tari
gemetar dan melemah lalu diapun terjatuh ke tangan Andika dan seraya
menengadah dengan pandangan penyerahan, keluar dari mulutnya bisik lesu
hampir-hampir tiada kedengaran.
“Lama benar kamu menyuruh saya menanti kata-katamu…..” tak dapat lagi
dia meneruskan ucapannya, sebab Andika menundukan kepalanya ke arah Tari
dan menutupkan bibirnya ke atas bibir Tari. Dan dalam curahan cinta
pertama yang mengemetarkan badan mereka yang muda remaja itu,menjauh
mengaburlah keinsafan mereka akan tempat dan waktu.
Sama-sama mereka berjalan dengan penuh mesranya berpegangan di antara
pohon-pohon bambu yang sayu berdesir-desir ti tiup angin. Ketika tiba di
seberang mereka turun ke bawah ke tepi anak air. Beberapa lamanya
mereka melangkah dari batu ke batu. Sekelilingnya indah nan permai
seperti biasanya di tengah alam, dan indah nan permai seperti biasa pula
pujuk dan cumbu asyik maksyuk muda remaja berdua dalam limpahan
perasaan cinta pertama yang penuh harapan.
Tari telah menceritakan kepada Putri bahwa dia telah berjanji kepada Andika untuk menjadi istrinya di kemudian hari.
Pada suatu malam, sesudah makan gadis berdua itu berkumpul dikamar tidur
mereka. Putri duduk di meja membaca buku, sedangkan Tari
berguling-guling ditepi tempat tidur sambil membaca sebuah roman. Di
luar sejak dari petang tadi tidak berhenti-hentinya hujan turun.
Beberapa lamanya Tari melamun di beranda menantikan kekasihnya yang
tiada juga kunjung-kunjung datang.
Putri sudah lama memperhatikan cara Tari membaca itu, geli hatinya
melihat ia yang tiada beralih-alih dari halam yang dibacanya itu.
Beberapa kali telah ia tegur Tariyang melamun menghadapi buku, tetapi
hal itu tiada diperdulikannya. Tak beberapa lama kemudian, kembalilah
Tari kekamarnya, mukanya pucat merengut. Dengan suara yang gemetar oleh
amarah yang ditahan-tahan, berkatalah ia kepada Putri “ kamu jahat benar
kak, menipu saya seperti itu.” Banyak yang tak dapat dikatakannya, lalu
dibantingkannya badannya ke tempat tidur, seraya menangis
tersedu-sedu.”Engkau selalu mengganggu saya, engkau tidak tahu bagaimana
perasaan saya” ujar Tari tersendu-sendu.
“Tidak…. Tidak…., saya tidak akan mengganggumu lagi, saya menyesal akan
perbuatan saya tadi. Maafkanlah saya Tari….” Di tariknya tangan Tari
perlahan-lahan supaya melihat kepadanya lalu berkatalah dia “ Tari
mengapa engkau sebodoh itu……” Putri hanya berolok-olok .
“Masa yang seperti itu sudah menangis, kamu bukan anak-anak lagi”
“Ya… kamu ngak tahu perasaan saya , bagaimana ibanya hati saya” jawab
Tari dengan nada yang agak tinggi bunyinya, seraya menelan sedunya dan
menghapus air matanya.
“Masakan saya tidak tahu perasaanmu, sebab saya tahu perasaanmulah saya
hendak member nasihat kepadamu…” sebentar terhenti Putri seraya melihat
kepada adiknya itu, lalu katanya pula ” Tari….kamu I ni terlampau
menuruti perasaanmu.”
Tari tiada dapat menahan hatinya lagi. Ia hendak mempertahankan dirinya,
ia tidak boleh memperkenankan cintanya kepada Andika di cela seperti
itu. Dengan suara yang terang menyatakan tiada senang hatinya mendengar
nasihat saudaranya itu, katanya “saya cinta kepadanya dengan seluruh
hati saya. Maumu saya berbohong dan pura-pura tidak mencintai dia gitu.”
Putri berbuat seolah-olah dia tidak tahu bahwa saudaranya marah dengan
nasihatnya. Dengan sabar dan tenang sebentar-sebentar menekan
perkataannya, seolah-olah hendak menenangkan fikirannya senyata-nyatanya
mungkin, berkatalah ia “ maksud saya bukan menyuruh kamu berbohong dan
pura-pura tidak cinta dengan dia.”
“Tidak sama sekali saya menyuruh kamu begitu.”
“Saya hendak menunjukkan kepadamu bahwa cintamu yang tiada ditahan-tahan
seperti sekarang ini, bearti merendahkan dirimu kepadanya.”
“terlampau kamu menyatakan bahwa hidupmu amat bergantung kepadanya, bahwa kamu tidak dapat hidup lagi , kalau tiada dengan dia.”
Ah…. Kamu ingin mengatur orang pula, saya cinta padanya. Biarlah saya mati daripada saya berpisah dari dia.”
“Apapun akan saya kerjakan untuknya.”
“Saya tidak takut dijadikan sahaya. Saya tahu dia cinta juga kepada saya.”
“Saya percaya kepadanya dan saya tidak sekali-kali merasa hina
menyatakan cinta saya itu padanya.” Jawab Tari dengan tegas mematahkan
segala perkataan kakaknya yang menyakitkan hatinya yang masih luka itu
karena di nasihati kakaknya seperti tadi.
“ Engkau tidak usah memperdulikan urusan saya, saya tidak minta nasihatmu.”
Rupa-rupanya hendak menyala pula amarah Putri, jika dia tidak dapat
menyabarkan dirinya. Setelah itu, sunyilah di dalam kamar itu. Putri
memaksa dirinya untuk membaca buku, tatapi gelisah duduknya terang
menyatakan bahwa hatinya belum reda. Dan ti tempat tidur diam terlentang
Tari dengan hati yang iba bercampur sebal dan amarah.
Sunyi sepi, hari berganti hari. Sudah sebulan lebih Tari di rumah sakit.
Ada kalanya setiap hari dia bertemu dengan ayahnya yang sedang ada
disana, tetapi ada pula kalanya sampai seminggu tiada dikunjungi orang.
Sekali-kali datang orang yang tiada di sangka-sangkanya, kenalan yang
hendak mengunjungi kerabatnya yang dirawat di rumah sakit itu. Hal itu
membawa kegembiraan hatinya yang tiada disangka-sangka baginya.
Sejak dari semula Tari tahu bahwa diantara orang sakit yang banyak itu
dia termasuk orang yang berat sakitnya. Kadang-kadang berhari-hari panas
badannya, ia batuk-batuk memuntahkan darah. Waktu yang demikian
tiadalah dia boleh meninggalkan tempat tidurnya. Dan apabila senua orang
pergi ke luar berjalan-jalan di sekitar rumah sakit itu, melayanglah
pikirannya kepada sekalian orang yang di kasihinya.
Kekasihnya,ayahnya,dan saudaranya.kadang-kadang tringat dia akan
bundanya yang telah lama berpulang. Dalam waktu yang demikian amat
terasa kemalangan hidupnya di rumah sakit yang sepi di lereng gunung
itu. Jika ia masih dapat mengangkat badannya, maka seringlah dia melihat
dari jendela kaca ke luar kearah pegunungan yang indah. Sering tiada
dapat ia iba hatinya dan menangislah ia tersendu-sendu.
Tetapi apabila badannya agak sehat dan ia di perbolehkan keluar untuk
berjalan-jalan layaknya seperti orang sakit yang lain,maka dirinya
seperti hidup kembali. Puaslah ia mengecap keindahan daerah disekeliling
rumah sakit yang susah di cari tandingannya itu. Tiada terasa kepadanya
waktu habis, apabila ia berjalan di antara kembang-kembang aneka warna
yang amat subur naik ditanah pegunungan itu. Laksana hidup di surgalah
dirinya yang suka akan warna dan kepermaian itu, melancong-lancong di
sekitar rumah sakit itu.
Semua rempat yang dekat disitu dikunjunginya, selalu kakinya yang lemah
itu, tiada terasa penat-penat kakinya namun ia masih tetap saja berjalan
menikmati indahnya alam pegunungan disekitar rumah sakit itu. Nikmat
terasa olehnya pemandangan dari bangku tempat duduk di dataran rendah ,
nikmat terasa kepadanya menengadah ke atas melihat ke puncak gunung yang
bersembunyi di balik awan. Dan kemana sekalipun dia memandangang ,di
segala penjuru nampak kepadanya kegirangan hidup yang mesra di atas
tanah yang mewah membagikan kekayaan kepada dunia.
Sejak dari pagi-pagi tiada berhenti-henti hujan turun, berama-sama
dengan angin kuatyang begitu dahsyat. Pohon-pohon sekitar rumah sakit
itu terbuai tertunduk-tunduk seraya gemuruh menderu-deru dan
berciut-ciut. Di gunung-gunung kabut yang tebal berkejar-kejaran, sangat
cepat tiada habis-habis lakunya. Langit yang putih kelabu berat turun
kebawah samapai menyatu dengan pelarian kabut di lereng gunung.
Pada pagi yang seolah-olah seluruh alam mengamuk itu, terbaring Tari
tiada bergerak-gerak di tempat tidurnya. Matanya memandang jauh
kehadapan, tetapi tidak ada sesuatu apapun yang kelihatan olehnya. Kecil
dan jauh terpencil, ditinggalkan segala orang terasa kepadanya, dirinya
pada pagi-pagi yang gemuruh itu. Rasa iba dan pilu melayangkan
pikirannya, tiada tertahan-tahan. Sebentar ia ingat kepada kekasihnya
Andika yang sudah lama dan hampir jarang mengunjunginya.
Teringat kepadanya, bahwa ia akan meminta kepada juru rawat dan dokter,
supaya Putri dan Andika dapat tiap-tiap hari datang mengunjunginya. Ah,
rasanya permintaan itu akan di kabulkan, sebab hari senin seminggu lagi
telah habis pula libur orang berdua itu dan lama pula ia akan berjumpa
lagi dengan mereka.
Tari mengubah letak bantalnya sedikit, sebab ia hendak menghadap kepada
jendela kaca yang tertutup, yang lantang memberi pemandangan kesebelah
barat. Nampak kepadanya sebentar kabut terangkat dan terlihatlah puncak
gunung yang berwarna hijau kehitam-hitaman. Bersandar pada langit yang
rata putih kelabu-labuan. Di lerengnya masih berkejar-kejar kabut
menutup pemandangan, tetapi agak kebawah banyak kelihatan
kehijau-hijauan hutan dan kebun, mengabur dalam hujan yang turun tiada
henti-hentinya.
Pemandangan yang suram kea rah gunung yang dibaluti awan dan kabut,
bertambah dalam perasaan sayu dalam hati Tari. Terasa benar kepadanya
kemalangan nasibnya. Telah hampir dua bulan ia terbaring dalam rumah
sakit itu. Usahakan penyakitnya berkurang, dua hari yang lalu ia
dipindahkan ke kamar khusus seorang diri. Tahu ia, bahwa ia di asingkan
itu oleh karena penyakitnya bertambah parah. Telah banyak orang yang
diasingkan kemari tiada hidup lagi keluar. Sering ia bertanya kepada
dirinya “ akan demikian pulakah nasib ku ini…..”
Dan pagi-pagi ini pertanyaan itu lebih-lebih datang merasuk kedalam hatinya.
“Kalau begini rasa-rasanya saya hanya menunggu waktunya saja lagi.”
“Betapakah akan rasanya nanti mati, tidak lagi melihat dan mendengar,
menunggalkan segala hal yang dicintai dan disayangi untuk
selama-lamanya.
Matahari telah hampir terbenam dibalik gunung tanah baru. Bernyala-nyala
rupa mega diwarnainya, kuning, merah, dan ungu. Di lembah-lembah dan di
lereng gunung telah turun kekaburan senja, tetapi puncak-puncak yang
menengadah ke langit merah membara turut menyayikan laguan warna.
Di seluruh rumah sakit yang putih jernih dikaki pegunungan itu, sunyi
senyap seolah-olah iapun tiada hendak mengusik kepermaian alam pada
senjanya itu.
Dalam kamar tempat Tari masih Putri dan Andika duduk tiada
bercakap-cakap diatas bangku masing-masing. Kesunyian alam di luar masuk
kedalam kamar kecil yang bersih itu,berat mengeri menyelap kedalam
qalbu orang bertiga itu.
Hari ini adalah hari yang terakhir bagi Putri dan Andika untuk
mengunjungi Tari. Pagi-pagi besok keduanya akan bertolak ke Jakarta,
sebab libur mereka telah habis. Sangat berat terasa kepada mereka akan
meninggalkan Tari, apalagi oleh karena penyakitnya yang rupa-rupanya
makin bertambah parah. Dokter sudah berbisik kepada Andika, bahwa
penyakit Tari sudah susah untuk mengobatinya. Dinyatakan kekhawatirannya
kalau usahanya hanya sia-sia.
Bagi Tari perpisahan dengan kedua orang yang dicintainya itu lebih berat
lagi. Meskipun penyakitnya tiada menjadi ringan barang sedikitpun,
tetapi dalam seminggu ini tiada terkata-kata bahagia rasa hatinya setiap
hari bisa bertemu dengan tunangannya dan kakaknya itu. Dan sekarang
waktunya ia akan di tinggalkan Andika dan Putri itu, betapa amat pilu
rasa hatinya dan berbagai-bagai pikiran menghantui dirinya.
Dari tempat tidurnya Tari memandangkan matanya keluar jendela. Keindahan
permainan benda di langit datang mendorong kalbunya tiada
tertahan-tahan lagi. Dan sedang di lamun kesedihan perpisahan dengan
kedua orang yang di cintainya itu. Lebih-lebih terasa kepadanya
perbedaan keadaan dirinya dengan keindahan tamasya alam di
sekelilingnya.Tetapi meskipun demikian sekejab tertarik terhanyut juga
hatinya yang pemuja keindahan itu oleh kepermaian pemandangan ketika
itu, sehingga sebelum dapat di insyafkannya telah keluarlah dari
mulutnya antara kedengaran atau tidak “Alangkah indahnya tamasya di
senja ini, coba kalau saya masih bisa menikmatinya pasti akan saya
rasakan ….”
Mendengar ucapan Tari itu Andika dan Putri sejurus memalingkan matanya
ke luar jendela dan keindahan alam pada pertukaran siang dan malam itu
masuk kedalam kalbu mereka mendalamkan perasaan sayu dan pilu akan
perpisahan yang amat lekas, tiada dapat ditunda lagi.
Andika mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya keluar seperti riak air
yang tiada berarti dan bermakna.” Lima belas menit lagi pukul enam.”
Di tundukannyalah kepalanya melihat ujung sepatunya. Sekejap lamanya
diangkatnya pula mukanya dan iapun melihat kepada kekasihnya yang
terbaring di tempat tidur. Pada saat itu bertemu matanya dengan mata
Tari yang kebetulan sedang mengamat-amati perangai tunangannya itu.
Senyum yang di paksa membayang pada muka yang berjorokan tulang itu
menyerupai seringai dan berat mengeluh selaku setelah perjuagan batin
yang hebat itu.
Andika berdiri pula sambil mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya
keluar kata-kata” tinggal dua menit lagi pukul enam.” Kedua-duanya
berdiri tegak dekat kepala Tari untuk mengucapkan selamat tinggal.
Sama-sama mereka bersungguh-sungguh memberi nasihat kepada Tari supaya
jangan menuruti hatinya, ia jangan sekali-kali berputus asa. Sekali lagi
Putri dan Andika memberi nasihat kepada Tari, sekali lagi mereka
mengatakan bahwa ia mesti sembuh, maka diucapkan merekalah” selamat
tinggal kepada juru rawat dan Tari.”
Dalam senja raya yang sejuk itu berjalanlah orang berdua itu dengan
tiada bercakap-cakap barang sepatah katapun. Diseluruh tanah pegunungan
itu malam telah mulai menyiratkan gelapnya. Mega hanya tinggal
kekelabu-labuan dan disana-sini masih tampak kekabur-kaburan warna ungu
lembayun, laksana jejak cahaya matahari yang telah turun dibalik gunung
padu perkasa yang biru hitam rupanya. Di langit bertambah lama bertambah
banyak kelihatan bintang kemilau mengerlip memandang dunia.
Andika dan Putri terus berjalan ke bawah menuju auto yang akan membawa
mereka kembali ke rumah. Berbagai-bagai pikiran dan perasaan mengacaukan
jiwa mereka. Waktu terus berjalan. Keresik gugur, gugur ke bumi dan
puncak muda memecah, memecah pula di ujung dahan.” Hhuuhh…. Alangkah
lekasnya waktu berjalan…..”
Hari masih pagi-pagi dan di perkuburan dekat kota Baru, tiada beberapa
jauh dari rumah Andika sunyi senyap. Tempat manusia melepas lelahnya
setelah perjuangan hidupnya itu, ketika itu tempat beristirahat yang
sunyi dan aman. Tak ada suatu bunyi ataupun suara yang ganjil yang
mengusik ketenangan yang mulia dan kudus itu.
Dari kejauhan terlihat dua orang anak muda datang sambil membawa untaian
bunga mawar yang indah.mereka tidak lain adalah Andika dan Putri.
Mereka datang ke kuburan itu hanya untuk berjiarah ke makam orang yang
sama-sama di cintainya itu.
Pada batu nisan pualam putih terlukiskan sebuah nama yang tiada lain adalah Tari.
“Tari berpulang 10 Januari 1992.”
Ia wafat dalam usia yang ke 22 tahun.
Tidak lama kemudian, perkebunan itupun sepi kembali tanpa ada satu
suarapun. Sementara itu,Putri dan Andika telah beranjak pergi
meninggalkan perkuburan itu, walaupun berat hati kedua orang itu
meninggalkan tempat itu. Terus, auto mereka melancar, berbelok-belok
menurun kebawah ke tempat kerja manusia di tengah-tengah perjuangan
dengan sedih dan senangnya………….
TAMAT