Pages - Menu

Sabtu, 26 Januari 2013

Pergi Berdua

Tak pernah terbayangkan di benak Ana sebelumnya, bahwa ia akan mengalami peristiwa krusial seperti itu. Pergi berdua dengan seorang laki-laki sebayanya di malam hari adalah hal yang tabu bagi Ana. Selama ini ia tak pernah sedikitpun membiarkan teman laki-lakinya berinteraksi secara berlebihan dengannya. Yang Ana maksud berlebihan itu, contohnya satu peristiwa di atas. Menyapa mereka setiap hari pun itu hal langka bagi Ana. Biasanya dua hari sekali, itu cukup. Dan jika tetap seperti itu, ia tak akan semalang sekarang.
Rambutnya serasa dijambak. Ana terlalu berlebihan memang. Tapi ia benar-benar merasa kalah saat ini. Kepalanya pening, sejurus dengan tangannya yang mendadak gemetar. Sebenarnya Ana tak punya penyakit ayan ataupun anemia, hanya saja ia baru pertama kali merasa dirinya foolish tingkat tinggi. Sampai-sampai kepalanya berdenyut berontak, sebagai isyarat bahwa otaknya pun tak bisa menerima kenyataan yang sebenarnya. Kebodohannya.
Ana seorang biasa, bahkan terlalu biasa mungkin. Yang ia lakukan setiap harinya, selain bersekolah paling pergi les harmonika di hari Selasa, dan sedikit hang out di hari Sabtu. Semuanya dilakukan sendiri, tidak dengan teman segeng ataupun pacar. Karena ia tak memiliki keduanya. Yang ada hanya teman sekelas, dan interaksinya pun hanya terjadi di sekolah dan sekitarnya. Tidak lebih dari itu. Dan satu hal, ia tak begitu percaya laki-laki.
***
“Sebenarnya apa sih yang dia ingin tahu? Atau, bantuan apa yang dia butuhkan dariku? Pinjam catatan? Bantuin bikin tugas grafis? Atau apa siiih..!!??” gumam Ana dalam hati. “Kali ini dia benar-benar membuatku mati bingung.” sambungnya.
Sejak minggu lalu Omar, teman laki-laki di kelas Ana bertingkah aneh. Tapi itu pendapat Ana. Aneh dalam orientasi Ana bukanlah seperti anak autis atau gila. Melainkan aneh karena Omar bersikap lain padanya. Omar bisa dikatakan teman terjail di kelas Ana. Hampir setiap selepas sholat, sepatu pantofel Ana disambarnya untuk dibawa lari ke kelas. Lalu disembunyikan di balik meja. Hampir setiap hari pula Ana naik darah.
Namun, kali ini Omar lain. Ia lebih sering diam dihadapan Ana. Padahal seingat Ana, ia tak pernah melakukan hal-hal yang membuat Omar sakit hati sampai bersikap seperti itu. Omar bersikap dingin, muram, dan sedikit menakutkan bagi Ana. Sekali lagi ia berlebihan.
“Berprasangka baik An, jangan hanya karena dia tidak menyembunyikan sepatumu, kamu jadi ikut pusing mikirin suasana hatinya.” timpal Ana, sesaat menoleh ke arah Omar yang masih muram. Bahkan hingga jam pelajaran berakhir. “Mungkin dia lagi galau mikirin jurusan kali ya..kan wajar, mana mau UN. Asal tidak sampai bunuh diri, kau dalam keadaan baik-baik saja Ana.” jawabnya lagi pada diri sendiri. Ngawurnya kambuh.
***
Ana merebahkan diri di permukaan empuk bermotif bintang. Ponselnya bergetar. Sesaat muncul nama kontak ‘O m a r’ memanggil, di layar ponselnya. Bukannya menekan tombol ‘jawab’, Ana malah loncat dari tempat tidurnya sembari melotot kaget. Lima detik berlalu. Waktu yang sebentar, namun cukup untuk membuktikan bahwa Omar bukanlah si penyabar seperti yang diharapkan Ana. Tak ada percakapan. Kamar Ana pun manguap sepi.
Esoknya di koridor, Ana berpapasan dengan Omar. Kali ini Omar tersenyum simpul, tapi Ana tetap bingung memperhatikannya. Tak disangka hari itu berlalu dengan sangat ganjil bagi Ana. Selama pelajaran Biologi, Omar terlihat mencuri pandang ke arahnya. Ana ge-er.
Di hari yang sama, satu voicemail diterima Ana. Dari Omar.
Kira-kira seperti ini bunyinya :
“Aku lagi bingung milih jurusan nih, An. Minta masukannya dong. Aku jemput kerumah ya. Sekalian anter nyiapin buat persyaratan PMDK. Aku tau rumah kamu ko. Lima belas menit lagi kamu tunggu depan rumah ya.” suara Omar terdengar berisik.
Ana terperanjat lagi mendengarnya. Namun, kali ini ia sigap. Disambarnya jaket biru kesayangannya, dikenakan seadanya bersama kerudung putih simple. Lima menit setelahnya ia sudah berdiri dibalik pintu pagar. Bersiap menunggu Omar.
Suara motor Omar terdengar bising di tengah perumahan sepi tempat kediaman Ana. Kali ini misi Ana hanya untuk memberi masukan pada Omar, tidak lebih dari itu. Tak lama keduanya pun melaju bersama. Terlihat senyum Ana menyiratkan kegembiraan. Ia tertipu.
***
Pukul sembilan malam tepat, Ana pulang diantar Omar. Dua jam itu hanya digunakannya untuk mengobrol, bertukar pikiran mengenai kebingungan yang melanda Omar. Sebentar keduanya mampir ke studio foto. Bukan untuk foto bersama, melainkan mengantar Omar menyelesaikan persyaratan pendaftaran untuk diserahkan esoknya.
“Makasih ya, An. Kamu ngebantu banget. Oya..boleh minta tolong satu lagi ga? Tolong beresin tugas grafis aku yah..Nih bahannya.” pinta Omar, tanpa rasa malu sedikitpun.
“Hah? Apa?” muka kesal Ana menyembul, namun tangannya tetap meraih apa yang disodorkan Omar. Tandanya ia tetap menerima dengan sepenuh hati, meski serasa ditindas.
Sejurus kemudian Omar berlalu bersama deru motornya, sementara Ana masih termangu di depan pagar. Meratapi kemalangannya, kebodohannya. Patut disebut seperti itu, karena malam istimewa yang dinantikannya sejak dulu berakhir dengan menyisakan kekalahan. Kekalahan pendirian Ana sendiri yang baru pertama kali merasa disanjung laki-laki dengan diajak pergi keluar berdua, malam hari pula. Padah cuma mau disuruh-suruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar